Showing posts with label sahabat rasulullah. Show all posts
Showing posts with label sahabat rasulullah. Show all posts

Thursday, 6 June 2013

Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiiq


Abu Bakar Ash-Shiddiiq (11-13 H) - Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amru bin Ka`ab bin Sa`ad bin Taim bin Murrah bin Ka`ab bin Lu`ai bin Ghalib bin Fihr al-Qurasy at-Taimi – radhiyallahu`anhu. Bertemu nasabnya dengan Nabi pada kakeknya Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Abu Bakar adalah shahabat Rasulullah – shalallahu`alaihi was salam – yang telah menemani Rasulullah sejak awal diutusnya beliau sebagai Rasul, beliau termasuk orang yang awal masuk Islam. Abu Bakar memiliki julukan “ash-Shiddiq” dan “Atiq”.

Ada yang berkata bahwa Abu Bakar dijuluki “ash-Shiddiq” karena ketika terjadi peristiwa isra` mi`raj, orang-orang mendustakan kejadian tersebut, sedangkan Abu Bakar langsung membenarkan.

Allah telah mempersaksikan persahabatan Rasulullah dengan Abu Bakar dalam Al-Qur`an, yaitu dalam firman-Nya : “…sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada sahabatnya: `Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita’.” (QS at-Taubah : 40)

`Aisyah, Abu Sa’id dan Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini mengatakan : “Abu Bakar-lah yang mengiringi Nabi dalam gua tersebut.”

Allah juga berfirman : “Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (az-Zumar : 33)

Al-Imam adz-Dzahabi setelah membawakan ayat ini dalam kitabnya al-Kabaa`ir, beliau meriwayatkan bahwa Ja`far Shadiq berujar :”Tidak ada perselisihan lagi bahwa orang yang datang dengan membawa kebenaran adalah Rasulullah, sedangkan yang membenarkannya adalah Abu Bakar. Masih adakah keistimeaan yang melebihi keistimeaannya di tengah-tengah para Shahabat?”

Dari Amru bin al-Ash radhiyallahu`anhu, bahwa Rasulullah mengutusnya atas pasukan Dzatus Salasil : “Aku lalu mendatangi beliau dan bertanya “Siapa manusia yang paling engkau cintai?” beliau bersabda :”Aisyah” aku berkata : “kalau dari lelaki?” beliau menjawab : “ayahnya (Abu Bakar)” aku berkata : “lalu siapa?” beliau menjawab: “Umar” lalu menyebutkan beberapa orang lelaki.” (HR.Bukhari dan Muslim)

“Sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai kekasih-Nya, sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya. Dan kalau saja aku mengambil dari umatku sebagai kekasih, akan aku jadikan Abu Bakar sebagai kekasih.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Sa`id radhiyallahu`anhu, bahwa Rasulullah duduk di mimbar, lalu bersabda :”Sesungguhnya ada seorang hamba yang diberi pilihan oleh Allah, antara diberi kemewahan dunia dengan apa yang di sisi-Nya. Maka hamba itu memilih apa yang di sisi-Nya” lalu Abu bakar menangis dan menangis, lalu berkata :”ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu” Abu Sa`id berkata : “yang dimaksud hamba tersebut adalah Rasulullah, dan Abu Bakar adalah orang yang paling tahu diantara kami” Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling banyak memberikan perlindungan kepadaku dengan harta dan persahabatannya adalah Abu Bakar. Andaikan aku boleh mengambil seorang kekasih (dalam riwayat lain ada tambahan : “selain rabb-ku”), niscaya aku akan mengambil Abu Bakar sebagai kekasihku. Tetapi ini adalah persaudaraan dalam Islam. Tidak ada di dalam masjid sebuah pintu kecuali telah ditutup, melainkan hanya pintu Abu Bakar saja (yang masih terbuka).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya Allah telah mengutusku kepada kalian semua. Namun kalian malah berkata `kamu adalah pendusta’. Sedangkan Abu Bakar membenarkan (ajaranku). Dia telah membantuku dengan jiwa dan hartanya. Apakah kalian akan meninggalkan aku (dengan meninggalkan) shahabatku?” Rasulullah mengucapkan kalimat itu 2 kali. Sejak itu Abu bakar tidak pernah disakiti (oleh seorangpun dari kaum muslimin). (HR. Bukhari)

Masa Kekhalifahan

Dalam riwayat al-Bukhari diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu`anha, bahwa ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar datang dengan menunggang kuda dari rumah beliau yang berada di daerah Sunh. Beliau turun dari hewan tunggangannya itu kemudian masuk ke masjid. Beliau tidak mengajak seorang pun untuk berbicara sampai akhirnya masuk ke dalam rumah Aisyah. Abu Bakar menyingkap wajah Rasulullah yang ditutupi dengan kain kemudian mengecup keningnya. Abu Bakar pun menangis kemudian berkata : “demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada dirimu. Adapun kematian yang telah ditetapkan pada dirimu, berarti engkau memang sudah meninggal.”Kemudian Abu Bakar keluar dan Umar sedang berbicara dihadapan orang-orang. Maka Abu Bakar berkata : “duduklah wahai Umar!” Namun Umar enggan untuk duduk. Maka orang-orang menghampiri Abu Bakar dan meninggalkan Umar. Abu Bakar berkata : “Amma bad`du, barang siapa diantara kalian ada yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah mati. Kalau kalian menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Allah telah berfirman :

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran : 144)

Ibnu Abbas radhiyallahu`anhuma berkata : “demi Allah, seakan-akan orang-orang tidak mengetahui bahwa Allah telah menurunkan ayat ini sampai Abu Bakar membacakannya. Maka semua orang menerima ayat Al-Qur`an itu, tak seorangpun diantara mereka yang mendengarnya melainkan melantunkannya.”

Sa`id bin Musayyab rahimahullah berkata : bahwa Umar ketika itu berkata : “Demi Allah, sepertinya aku baru mendengar ayat itu ketika dibaca oleh Abu Bakar, sampai-sampai aku tak kuasa mengangkat kedua kakiku, hingga aku tertunduk ke tanah ketika aku mendengar Abu Bakar membacanya. Kini aku sudah tahu bahwa nabi memang sudah meninggal.”

Dalam riwayat al-Bukhari lainnya, Umar berkata : “maka orang-orang menabahkan hati mereka sambil tetap mengucurkan air mata. Lalu orang-orang Anshor berkumpul di sekitar Sa`ad bin Ubadah yang berada di Saqifah Bani Sa`idah” mereka berkata : “Dari kalangan kami (Anshor) ada pemimpin, demikian pula dari kalangan kalian!” maka Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarroh mendekati mereka. Umar mulai bicara, namun segera dihentikan Abu Bakar. Dalam hal ini Umar berkata : “Demi Allah, yang kuinginkan sebenarnya hanyalah mengungkapkan hal yang menurutku sangat bagus. Aku khawatir Abu Bakar tidak menyampaikannya” Kemudian Abu Bakar bicara, ternyata dia orang yang terfasih dalam ucapannya, beliau berkata : “Kami adalah pemimpin, sedangkan kalian adalah para menteri.” Habbab bin al-Mundzir menanggapi : “Tidak, demi Allah kami tidak akan melakukannya, dari kami ada pemimpin dan dari kalian juga ada pemimpin.” Abu Bakar menjawab : “Tidak, kami adalah pemimpin, sedangkan kalian adalah para menteri. Mereka (kaum Muhajirin) adalah suku Arab yang paling adil, yang paling mulia dan paling baik nasabnya. Maka baiatlah Umar atau Abu Ubaidah bin al-Jarroh.”Maka Umar menyela : “Bahkan kami akan membai`atmu. Engkau adalah sayyid kami, orang yang terbaik diantara kami dan paling dicintai Rasulullah.” Umar lalu memegang tangan Abu Bakar dan membai`atnya yang kemudian diikuti oleh orang banyak. Lalu ada seorang yang berkata : “kalian telah membunuh (hak khalifah) Sa`ad (bin Ubadah).” Maka Umar berkata : “Allah yang telah membunuhnya.” (Riwayat Bukhari)

Menurut `ulama ahli sejarah, Abu Bakar menerima jasa memerah susu kambing untuk penduduk desa. Ketika beliau telah dibai`at menjadi khalifah, ada seorang wanita desa berkata : “sekarang Abu Bakar tidak akan lagi memerahkan susu kambing kami.” Perkataan itu didengar oleh Abu Bakar sehingga dia berkata : “tidak, bahkan aku akan tetap menerima jasa memerah susu kambing kalian. Sesungguhnya aku berharap dengan jabatan yang telah aku sandang sekarang ini sama sekali tidak merubah kebiasaanku di masa silam.” Terbukti, Abu Bakar tetap memerahkan susu kambing-kambing mereka.

Ketika Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, beliau memerintahkan Umar untuk mengurusi urusan haji kaum muslimin. Barulah pada tahun berikutnya Abu Bakar menunaikan haji. Sedangkan untuk ibadah umroh, beliau lakukan pada bulan Rajab tahun 12 H. beliau memasuki kota Makkah sekitar waktu dhuha dan langsung menuju rumahnya. Beliau ditemani oleh beberapa orang pemuda yang sedang berbincang-bincang dengannya. Lalu dikatakan kepada Abu Quhafah (Ayahnya Abu Bakar) : “ini putramu (telah datang)!”

Maka Abu Quhafah berdiri dari tempatnya. Abu Bakar bergegas menyuruh untanya untuk bersimpuh. Beliau turun dari untanya ketika unta itu belum sempat bersimpuh dengan sempurna sambil berkata : “wahai ayahku, janganlah anda berdiri!” Lalu Abu Bakar memeluk Abu Quhafah
dan mengecup keningnya. Tentu saja Abu Quhafah menangis sebagai luapan rasa bahagia dengan kedatangan putranya tersebut.

Setelah itu datanglah beberapa tokoh kota Makkah seperti Attab bin Usaid, Suhail bin Amru, Ikrimah bin Abi Jahal, dan al-Harits bin Hisyam. Mereka semua mengucapkan salam kepada Abu Bakar : “Assalamu`alaika wahai khalifah Rasulullah!” mereka semua menjabat tangan Abu Bakar. Lalu Abu Quhafah berkata : “wahai Atiq (julukan Abu Bakar), mereka itu adalah orang-orang (yang baik). Oleh karena itu, jalinlah persahabatan yang baik dengan mereka!” Abu Bakar berkata : “Wahai ayahku, tidak ada daya dan upaya kecuali hanya dengan pertolongan Allah. Aku telah diberi beban yang sangat berat, tentu saja aku tidak akan memiliki kekuatan untuk menanggungnya kecuali hanya dengan pertolongan Allah.” Lalu Abu Bakar berkata : “Apakah ada orang yang akan mengadukan sebuah perbuatan dzalim?” Ternyata tidak ada seorangpun yang datang kepada Abu Bakar untuk melapor sebuah kedzaliman. Semua orang malah menyanjung pemimpin mereka tersebut.

Wafatnya

Menurut para `ulama ahli sejarah Abu Bakar meninggal dunia pada malam selasa, tepatnya antara waktu maghrib dan isya pada tanggal 8 Jumadil awal 13 H. Usia beliau ketika meninggal dunia adalah 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma` binti Umais, istri beliau. Kemudian beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah. Umar mensholati jenazahnya diantara makam Nabi dan mimbar (ar-Raudhah). Sedangkan yang turun langsung ke dalam liang lahat adalah putranya yang bernama Abdurrahman (bin Abi Bakar), Umar, Utsman, dan Thalhah bin Ubaidillah.

Sumber :

-Al-Bidayah wan Nihayah, Masa Khulafa’ur Rasyidin Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir.
- Shifatush-Shofwah karya Ibnul Jauzi. Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah -Al-Kabaa`ir karya Adz-Dzahabi.

Apabila antum ingin mengetahui lebih mendalam tentang Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiiq, antum dapat membaca buku-buku rujukan dibawah ini :


Sirah Shahabat
Perjalanan Hidup Empat Khalifah yang Agung
10 Sahabat yang Dijamin Masuk Surga

Biografi Umar bin Khathab


Umar bin Khathab - Beliau adalah Umar bin Al-Khathab bin Nufail bin Adi bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Lu’ai, Abu Hafs Al-‘Adawi. Julukan beliau adalah Al-Faruq.
Adapun ibunya bernama Hantamah bin Hisyam bin Al-Mughirah, kakak dari Abu Jahal bin Hisyam.
Ibnu Katsir berkata, “Jumlah seluruh anak Umar adalah empat belas, yaitu: Zaid yang sulung, Zaid yang bungsu, Ashim, Abdullah, Abdurrahman yang sulung, Abdurrahman yang pertengahan, Az-Zubai bin Bakkar─yaitu Abu Syahmah, Abdurrahman yang bungsu, Ubaidullah, Iyadh, Hafsah, Ruqayyah, Zainab, Fathimah. Jumlah seluruh istri Umar yang pernah dinikahi pada masa Jahiliyah dan Islam, baik yang diceraikan ataupun yang ditinggal wafat sebanyak tujuh orang. Keislamannya

Umar masuk Islam berusia dua puluh tujuh tahun, beliau mengikuti perang Badar dan seluruh peperangan yang terjadi setelahnya bersama Rasulullah. Beliau juga pernah diutus untuk berangkat bersama sebahagian tentara untuk memata-matai dan mencari informasi tentang musuh, terkadang menjadi pemimpin dalam tugas ini.

Beliaulah yang pertama kali digelari Amirul Mukminin. Beliaulah yang pertama kali membuat penanggalan Hijriyah, mengumpulkan manusia untuk shalat tarawih berjama’ah. Beliaulah orang yang pertama kali berkeliling di malam hari mengontrol rakyatnya di Madinah. Beliaulah yang pertama kali membawa tongkat pemukul untuk mendera peminum khamr delapan puluh kali cambukan, khalifah yang banyak melakukan penaklukan, pertama kali membentuk tentara resmi, membuat undang-undang perpajakan, menentukan gaji tetap, menempatkan para qadhi, dll.

Fadhilah dan Keutamaannya

Umar adalah penduduk surga. Diriwayatkan dari Said Ibnu Musayyab bahwa Abu Hurairah berkata, “Ketika berada disisi Rasulullah, tiba-tiba beliau berkata, ‘Sewaktu tidur aku bermimpi seolah-olah aku berada di surga. Kemudian aku melihat seorang wanita berwudhu disamping sebuah istana, maka aku bertanya, ‘Milik siapa istana ini?’ Mereka menjawab, ‘Miliki Umar.’ Maka aku teringat akan kecemburuan Umar, segera aku menjauhi istana itu.’” Umar menangis dan berkata, “Demi Allah, mana mungkin aku akan cemburu padamu wahai Rasulullah?”

Diriwayatkan Anas bin Malik, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menaiki gunung Uhud beserta Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Maka tiba-tiba gunung itu berguncang, segeralah Rasulullah memukulkan kakinya dan berkata, “Diamlah wahai Uhud, sesungguhnya di atasmu hanyalah seorang nabi, shiddiq, dan dua orang syahid.”

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Kami menjadi kuat sejak Umar masuk Islam.”

Umar Adalah Sahabat yang Mendapat Ilham

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di antara orang-orang sebelum kalian terdapat sejumlah manusia yang mendapat ilham. Apabila seorang umatku mendapatkannya, maka Umarlah orangnya.”

Zakaria bin Abi Zaidah menambahkan dari Sa’ad dari Abi Salamah dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari Bani Israil ada yang diberikan ilham walaupun mereka bukan nabi, jika salah seorang dari umatku mendapatkannya, maka Umarlah orangnya."

Wibawa Umar

Diriwayatkan dari Muhammad bin Sa’ad bin Abi Waqqash dari ayahnya, ia berkata, “Umar bin Al-Khathab memohon agar diizinkan masuk ke rumah Rasulullah. Ketika itu, ada beberapa orang wanita dari Quraisy sedang berbincang-bincang dengan Rasulullah dan mereka berbicara dengan nada suara yang keras melebihi suara Rasulullah. Ketika Umar masuk, mereka segera berdiri dan menurunkan hijab. Setelah diberi izin, Umar masuk ke rumah Rasulullah sementara Rasulullah tertawa. Umar bertanya, Apa yang membuat Anda tertawa wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Aku heran terhadap wanita-wanita yang berada di sisiku ini. Ketika mereka mendengar suaramu, segera mereka berdiri menarik hijab.” Umar berkata, “Sebenarnya engkau yang lebih layak mereka segani wahai Rasulullah.” Kemudian Umar berbicara kepada mereka, “Wahai para wanita yang menjadi musuh bagi nafsunya sendiri, bagaimana kalian segan terhadap diriku dan tidak segan terhadap Rasulullah?” Mereka menjawab, “Ya, sebab engkau lebih keras dan lebih kasar daripada Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Jangan memulai pembicaraan wahai Ibnul Khathab. Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman tangan-Nya, sesungguhnya tidaklah setan menemuimu sedang berjalan di suatu jalan kecuali dia akan mencari jalan lain yang tidak engkau lalui.”

Dalam riwayatkan yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Umatku yang paling penyayang adalah Abu Bakar, dan yang paling tegas dalam menegakkan agama Allah adalah Umar.”

Keadaan Umar bin Khathab

Umar pernah berkata, “Tidak halal bagiku harta yang diberikan Allah kecuali dua pakaian. Satu untuk dikenakan di musim dingin dan satu lagi dikenakan untuk musim panas. Adapun makanan untuk keluargaku sama saja dengan makanan orang-orang Quraisy pada umumnya, bukan standar yang paling kaya di antara mereka. Aku sendiri hanyalah salah seorang dari kaum muslimin.”

Jika menugaskan para gubernurnya, Umar akan menulis perjanjian yang disaksikan oleh kaum Muhajirin. Umar menyaratkan kepada mereka agar tidak berpakaian yang halus, dan tidak menutup pintu rumahnya kepada rakyat yang membutuhkan bantuan. Jika mereka melanggar pesan ini, maka akan mendapatkan hukuman.”
Mu’awiyah bin Abu Sufyan berkata, “Adapun Abu Bakar, ia tidak sedikit pun menginginkan dunia dan dunia juga tidak ingin datang menghampirinya. Sedangkan Umar, dunia datang menghampirinya namun dia tidak menginginkannya. Adapun kita bergelimang dalam kenikmatan dunia.”

Pernah Umar dicela dan dikatakan kepadanya, “Alangkah baiknya jika engkau memakan makanan yang bergizi tentu akan membantu dirimu supaya lebih kuat membela kebenaran.” Maka Umar berkata, “Sesungguhnya aku telah meninggalkan kedua sahabatku (Rasulullah dan Abu Bakar) dalam keadaan tegar (tidak terpengaruh dengan dunia) maka jika aku tidak mengikuti ketegaran mereka, aku takut tidak akan dapat mengejar kedudukan mereka.”

Anas berkata, “Antara dia bahu dari baju Umar, terdapat empat tambalan, kainnya ditambal dengan kulit. Pernah beliau khutbah di atas mimbar mengenakan pakaian yang memiliki dua belas tambalan. Ketika melaksanakan ibadah haji, beliau hanya menggunakan enam belas dinar, sementara beliau berkata kepada anaknya, ‘Kita terlalu boros dan berlebihan.’”

Pada tahun paceklik dan kelaparan, beliau tidak pernah makan kecuali roti dan minyak hingga kulit beliau berubah menjadi hitam. Beliau berkata, “Akulah sejelek-jelek penguasa apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.” Pada wajah beliau terdapat dua garis hitam disebabkan banyak menangis. Terkadang beliau mendengat ayat Allah dan jatuh pingsan karena perasaan takut, hingga terpaksa diangkat kerumah dalam keadaan pingsan. Kemudian kaum muslimin menjenguk beliau beberapa hari, padahal beliau tidak memiliki penyakit yang membuat beliau pingsan kecuali perasaan takutnya.

Kisah Terbunuhnya Umar

Amru bin Maimun berkata, “Pada pagi hari terbunuhnya Umar, aku berdiri dekat sekali dengan Umar. Penghalang antara aku dan beliau hanyalah Abdullah bin Abbas. Kebiasaannya, jika beliau berjalan disela-sela shaf, beliau selalu berkata, ‘Luruskan!’ Setelah melihat barisan telah rapat dan lurus, beliau maju dan mulai bertakbir. Pada waktu itu mungkin beliau sedang membaca surat Yusuf atau An-Nahl ataupun surat lainnya pada rakaat pertama hingga seluruh jama’ah hadir berkumpul. Ketika beliau bertakbir, tiba-tiba aku mendengar beliau menjerit, ‘Aku dimakan anjing (aku ditikam).’

Ternyata beliau ditikam oleh seorang budak, kemudian budak kafir itu lari dengan membawa pisau belati bermata dua. Setiap kali melewati orang-orang, dia menikamkan belatinya ke kanan maupun ke kiri hingga menikam tiga belas orang kaum muslimin dan tujuh di antaranya meninggal. Ketika salah seorang dari kaum muslimin melihat peristiwa itu, ia melemparkan burnus (baju berpenutup kepala) untuk menangkapnya. Ketika budak kafir itu yakin bahwa dia akan tertangkap, dia langsung bunuh diri. Umar segera menarik tangan Abdurrahman dan menyuruhnya maju menjadi imam. Siapa saja yang berdiri dibelakang Umar pasti akan melihat apa yang aku lihat. Adapun orang-orang yang berada disudut-sudut masjid, mereka tidak tahu apa yang telah terjadi, hanya saja mereka tidak mendengar suara Umar. Di antara mereka ada yang mengatakan, Subhanallah.’

Maka akhirnya Abdurrahman yang menjadi imam shalat mereka dan ia sengaja memendekkan shalat. Selesai orang-orang mengerjakan shalat, Umar berkata, ‘Wahai Ibnu Abbas, lihatlah siapa yang telah menikamku.’ Ibnu Abbas pergi, sesaat kemudian kembali sambil berkata, ‘Pembunuhmu adalah budak milik Al-Mughirah.’ Umar bertanya, ‘Budaknya yang lihai bertukang itu?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Ya.’ Umar berkata, ‘Semoga Allah membinasakannya. Padahal aku telah menyuruhnya kepada kebaikan. Alhamdulillah yang telah menjadikan sebab kematianku di tangan orang yang tidak beragama Islam. Engkau dan ayahmu (Abbas) menginginkan agar budak-budak kafir itu banyak tinggal di Madinah.’”

Umar wafat tiga hari setelah peristiwa itu, beliau dikebumikan pada hari Ahad di awal bulan Muharram tahun 24 Hijriyah dan dikebumikan di kamar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disamping Abu Bakar setelah mendapat izin dari Ummul Mukminin Aisyah. Abu Ma’syar berkata, “Umar terbunuh pada tanggal 25 Dzulhijjah tepat penghujung tahun 23 Hijriyah. Masa kekhalifahannya adalah 10 tahun 6 bulan 4 hari. Setelah itu Utsman diba’iat menjadi khalifah.”Umar wafat saat ia berumur 63 tahun, dan dalam riwayat yang lain beliau wafat ketika berusia 57 tahun.

Apabila antum ingin mengetahui lebih mendalam tentang Biografi Umar bin Khathab, antum dapat membaca buku-buku rujukan dibawah ini :


Sirah Shahabat
Perjalanan Hidup Empat Khalifah yang Agung
10 Sahabat yang Dijamin Masuk Surga

Biografi Utsman bin Affan


Utsman bin Affan - Nama lengkapnya adalah ‘Utsman bin Affan bin Abi Ash bin Umayah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf al Umawy al Qurasy, pada masa Jahiliyah ia dipanggil dengan Abu ‘Amr dan pada masa Islam nama julukannya (kunyah) adalah Abu ‘Abdillah. Dan juga ia digelari dengan sebutan “Dzunnuraini”, dikarenakan beliau menikahi dua puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum. Ibunya bernama Arwa’ bin Kuraiz bin Rabi’ah bin Habib bin ‘Abdi Syams yang kemudian menganut Islam yang baik dan teguh.

Keutamaannya :

Imam Muslim telah meriwayatkan dari ‘Aisyah, seraya berkata,” Pada suatu hari Rasulullah sedang duduk dimana paha beliau terbuka, maka Abu Bakar meminta izin kepada beliau untuk menutupinya dan beliau mengizinkannya, lalu paha beliau tetap dalam keadaan semula (terbuka). Kemudian Umar minta izin untuk menutupinya dan beliau mengizinkannnya, lalu paha beliau tetap dalam keadaan semula (terbuka), ketika Utsman meminta izin kepada beliau, amaka beliau melepaskan pakaiannya (untuk menutupi paha terbuka). Ketika mereka telah pergi, maka aku (Aisyah) bertanya,”Wahai Rasulullah, Abu Bakar dan Umar telah meminta izin kepadamu untuk menutupinya dan engkau mengizinkan keduanya, tetapi engkau tetap berada dalam keadaan semula (membiarkan pahamu terbuka), sedangkan ketika Utsman meminta izin kepadamu, maka engkau melepaskan pakainanmu (dipakai untuk menutupinya). Maka Rasulullah menjawab,” Wahai Aisyah, Bagaimana aku tidak merasa malu dari seseorang yang malaikat saja merasa malu kepadanya”.

Ibnu ‘Asakir dan yang lainnya menjelaskan dalam kitab “Fadhail ash Shahabah” bahwa Ali bin Abi Thalib ditanya tentang Utsman, maka beliau menjawab,” Utsman itu seorang yang memiliki kedudukan yang terhormat yang dipanggil dengan Dzunnuraini, dimana Rasulullah menikahkannya dengan kedua putrinya.

Perjalanan hidupnya

Perjalanan hidupnya yang tidak pernah terlupakan dalam sejarah umat islam adalah beliau membukukan Al-Qura’an dalam satu versi bacaan dan membuat beberapa salinannya yang dikirim kebeberapa negeri negeri Islam. Serta memerintahkan umat Islam agar berpatokan kepadanya dan memusnahkan mushaf yang dianggap bertentangan dengan salinan tersebut. Atas Izin allah Subhanahu wa ta’ala, melalui tindakan beliau ini umat Islam dapat memelihara ke autentikan Al-Qur’an samapai sekarang ini. Semoga Allah membalasnya dengan balasan yang terbaik.

Diriwayatkan dari oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnadnya dari yunus bahwa ketika al Hasan ditanya tentang orang yang beristirahat pada waktu tengah hari di masjid ?. maka ia menjawab,”Aku melihat Utsman bin Affan beristirahat di masjid, padahal beliau sebagai Khalifah, dan ketika ia berdiri nampak sekali bekas kerikil pada bagian rusuknya, sehingga kami berkata,” Ini amirul mukminin, Ini amirul mukminin..”

Diriwayatkan oleh Abu Na’im dalam kitabnya “Hulyah al Auliyah” dari Ibnu Sirin bahwa ketika Utsman terbunuh, maka isteri beliau berkata,” Mereka telah tega membunuhnya, padahal mereka telah menghidupkan seluruh malam dengan Al-Quran”.

Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, seraya ia berkata dengan firman Allah”. “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Qs Az-Zumar:9) yang dimaksud adalah Utsman bin Affan.

WafatnyaIa wafat pada tahun 35 H pada pertengahan tasyriq tanggal 12 Dzul Hijjah, dalam usia 80 tahun lebih, dibunuh oleh kaum pemberontak (Khawarij).

Diringkas dari Biografi Utsman bin affan dalam kitab Al ‘ilmu wa al Ulama Karya Abu Bakar al Jazairy. Penerbit Daar al Kutub as Salafiyyah. Cairo. ditulis tanggal 5 Rab’ul Awal di Madinah al Nabawiyah.
Apabila antum ingin mengetahui lebih mendalam tentang Biografi Utsman bin Affan, antum dapat membaca buku-buku rujukan dibawah ini :
1. Sirah Shahabat
2. Perjalanan Hidup Empat Khalifah yang Agung
3. 10 Sahabat yang Dijamin Masuk Surga

Biografi Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib - Nama dan Nasab beliau : Nama Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim. Abu Thalib adalah saudara kandung Abdullah bin Abdul Muththalib, ayah baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi Ali bin Abi Thalib adalah saudara sepupu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau dijuluki Abul Hasan dan Abu Turab.

Semenjak kecil beliau hidup diasuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena ayahnya terlalu banyak beban dan tugas yang sangat banyak dan juga banyak keluarga yang harus dinafkahi, sedangkan Abu Thalib hanya memiliki sedikit harta semenjak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih anak-anak.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengasuhnya sebagai balas budi terhadap pamannya, Abu Thalib yang telah mengasuh beliau ketika beliau tidak punya bapak dan ibu serta kehilangan kakek tercintanya, Abdul Muththalib.

Ali bin Abi Thalib masuk Islam:

Mayoritas ahli sejarah Islam menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah orang kedua yang masuk Islam setelah Khadijah radhiyallahu ‘anha, di mana usia beliau saat itu masih berkisar antara 10 dan 11 tahun. Ini adalah suatu kehormatan dan kemuliaan bagi beliau, di mana beliau hidup bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan terdepan memeluk Islam. Bahkan beliau adalah orang pertama yang melakukan shalat berjamaah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana ditulis oleh al-Askari (penulis kitab al-Awa`il).

Sifat fisik dan kepribadian beliau:

Beliau adalah sosok yang memiliki tubuh yang kekar dan lebar, padat berisi dengan postur tubuh yang tidak tinggi, perut besar, warna kulit sawo matang, berjenggot tebal berwarna putih seperti kapas, kedua matanya sangat tajam, murah senyum, berwajah tam-pan, dan memiliki gigi yang bagus, dan bila berjalan sangat cepat.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah sosok manusia yang hidup zuhud dan sederhana, memakai pakaian seadanya dan tidak terikat dengan corak atau warna tertentu. Pakaian beliau berbentuk sarung yang tersimpul di atas pusat dan menggantung sampai setengah betis, dan pada bagian atas tubuh beliau adalah rida’ (selendang) dan bahkan pakaian bagian atas beliau bertambal. Beliau juga selalu mengenakan kopiah putih buatan Mesir yang dililit dengan surban.

Ali bin Abi Thalib juga suka memasuki pasar, menyuruh para pedagang bertakwa kepada Allah dan menjual dengan cara yang ma`ruf.

Beliau menikahi Fatimah az-Zahra putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dikarunia dua orang putra, yaitu al-Hasan dan al-Husain.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah sosok pejuang yang pemberani dan heroik, pantang mundur, tidak pernah takut mati dalam membela dan menegakkan kebenaran. Keberanian beliau dicatat di dalam sejarah, sebagai berikut:

a) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin berhijrah ke Madinah pada saat rumah beliau dikepung di malam hari oleh sekelompok pemuda dari berbagai utusan kabilah Arab untuk membunuh Nabi, Nabi menyuruh Ali bin Abi Thalib shallallahu ‘alaihi wasallam tidur di tempat tidur beliau dengan mengenakan selimut milik beliau. Di sini Ali bin Abi Thalib benar-benar mempertaruhkan nyawanya demi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan penuh tawakal kepada Allah Ta’ala.

Keesokan harinya, Ali disuruh menunjukkan keberadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun beliau menjawab tidak tahu, karena beliau hanya disuruh untuk tidur di tempat tidurnya. Lalu beliau disiksa dan digiring ke Masjidil Haram dan di situ beliau ditahan beberapa saat, lalu dilepas.

b) Beliau kemudian pergi berhijrah ke Madinah dengan berjalan kaki sendirian, menempuh jarak yang sangat jauh tanpa alas kaki, sehingga kedua kakinya bengkak dan penuh luka-luka setibanya di Madinah.

c) Ali bin Abi Thalib terlibat dalam semua peperangan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, selain perang Tabuk, karena saat itu beliau ditugasi menjaga kota Madinah. Di dalam peperangan-peperangan tersebut beliau sering kali ditugasi melakukan perang tanding (duel) sebelum peperangan sesungguhnya dimulai. Dan semua musuh beliau berhasil dilumpuhkan dan tewas. Dan beliau juga menjadi pemegang panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keutamaan Ali bin Abi Thalib radhiayallahu ‘anhu:

Keutamaan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sangat banyak sekali. Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi keutamaan dan keistimewaan beliau. Berikut ini di antaranya:

-Ali adalah manusia yang benar-benar dicintai Allah dan RasulNya.

Pada waktu perang Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bendera ini sungguh akan saya berikan kepada seseorang yang Allah memberikan kemenangan melalui dia, dia mencintai Allah dan RasulNya, dan dia dicintai Allah dan RasulNya.” Maka pada malam harinya, para sahabat ribut membicarakan siapa di antara mereka yang akan mendapat kehormatan membawa bendera tersebut. Dan keesokan harinya para sahabat datang menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, masing-masing berharap diserahi bendera. Namun beliau bersabda, “Mana Ali bin Abi Thalib?” Mereka menjawab, “Matanya sakit, ya Rasulullah.” Lalu Rasulullah menyuruh untuk menjemputnya dan Ali pun datang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyemburkan ludahnya kepada kedua mata Ali dan mendoakannya. Dan Ali pun sembuh seakan-akan tidak pernah terkena penyakit. Lalu beliau memberikan bendera kepadanya. Ali berkata, “Ya Rasulullah, aku memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Beliau menjawab, “Majulah dengan tenang sampai kamu tiba di tempat mereka, kemudian ajaklah mereka masuk Islam dan sampaikan kepada mereka hak-hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Demi Allah, sekiranya Allah memberikan hidayah kepada seorang manusia melalui dirimu, sungguh lebih baik bagimu dari pada unta-unta merah.” (HR. Muslim, no. 2406).

-Jiwa juang Ali sangat melekat di dalam kalbunya, sehingga ketika Rasulullah ingin berangkat pada perang Tabuk dan memerintah Ali agar menjaga Madinah, Ali merasa keberatan sehingga mengatakan, “Apakah engkau meninggalkan aku bersama kaum perempuan dan anak-anak?”

Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru menunjukkan kedudukan Ali yang sangat tinggi seraya bersabda, “Apakah engkau tidak ridha kalau kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada kenabian sesudahku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

-Beliau juga adalah salah satu dari sepuluh orang yang telah mendapat “busyra biljannah” (berita gembira sebagai penghuni surga), sebagaimana dinyatakan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak.

-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan kepada Ali radhiyallahu ‘anhu, “bahwa tidak ada yang mencintainya kecuali seorang Mukmin dan tidak ada yang membencinya, kecuali orang munafik.” (HR. Muslim)

-Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda kepada Ali radhiyallahu ‘anhu,

Ø£َÙ†ْتَ Ù…ِÙ†ِّÙŠْ ÙˆَØ£َÙ†َا Ù…ِÙ†ْÙƒَ.

“Engkau adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darimu.” (HR. al-Bukhari).

-Beliau juga sangat dikenal dengan kepandaian dan ketepatan dalam memecahkan berbagai masalah yang sangat rumit sekalipun, dan beliau juga seorang yang memiliki `abqariyah qadha’iyah (kejeniusan dalam pemecahan ketetapan hukum) dan dikenal sangat dalam ilmunya. (Lihat: Aqidah Ahlussunnah fi ash-Shahabah, jilid I, halaman 283).

Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah:

Ketika Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah keempat, situasi dan suasana kota Madinah sangat mencekam, dikuasai oleh para pemberontak yang telah menodai tanah suci Madinah dengan melakukan pembunuhan secara keji terhadap Khalifah ketiga, Uts-man bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.

Ali bin Abi Thalib dalam pemerintahannya benar-benar menghadapi dilema besar yang sangat rumit, yaitu:

1) Kaum pemberontak yang jumlahnya sangat banyak dan menguasai Madinah.

2) Terbentuknya kubu penuntut penegakan hukum terhadap para pemberontak yang telah membunuh Utsman bin ‘Affan, yang kemudian melahirkan perang saudara, perang Jamal dan Shiffin.

3) Kaum Khawarij yang dahulunya adalah para pendukung dan pembela beliau kemudian berbalik memerangi beliau.

Namun dengan kearifan dan kejeniusan beliau dalam menyikapi berbagai situasi dan mengambil keputusan, beliau dapat mengakhiri pertumpahan darah itu melalui albitrasi (tahkim), sekalipun umat Islam pada saat itu masih belum bersatu secara penuh.

Abdurrahman bin Muljam, salah seorang pentolan Khawarij memendam api kebencian terhadap Ali bin Abi Thalib, karena dianggap telah menghabisi rekan-rekannya yang seakidah, yaitu kaum Khawarij di Nahrawan. Maka dari itu ia melakukan makar bersama dua orang rekannya yang lain, yaitu al-Barak bin Abdullah dan Amr bin Bakar at-Tamimi, untuk menghabisi Ali, Mu’awiyah dan Amr bin al-’Ash, karena dia anggap sebagai biang keladi pertumpahan darah.

Al-Barak dan Amr gagal membunuh Mu’awiyah dan Amr bin al-’Ash, sedangkan Ibnu Muljam berhasil mendaratkan pedangnya di kepala Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib, pada dini hari Jum’at, 17 Ramadhan, tahun 40 H. dan beliau wafat keesokan hari-nya.
Apabila antum ingin mengetahui lebih mendalam tentang Biografi Ali bin Abi Thalib, antum dapat membaca buku-buku rujukan dibawah ini :
1. Sirah Shahabat
2. Perjalanan Hidup Empat Khalifah yang Agung
3. 10 Sahabat yang Dijamin Masuk Surga

Biografi Abdullah bin Umar


Abdullah bin Umar (Wafat 72 H) - Periwayatan paling banyak berikutnya sesudah Abu Hurairah adalah Abdullah bin Umar. Ia meriwayatkan 2.630 hadits.

Abdullah adalah putra khalifah ke dua Umar bin al-Khaththab saudarah kandung Sayiyidah Hafshah Ummul Mukminin. Ia salahseorang diantara orang-orang yang bernama Abdullah (Al-Abadillah al-Arba’ah) yang terkenal sebagai pemberi fatwa. Tiga orang lain ialah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin al-Ash dan Abdullah bin az-Zubair.

Ibnu Umar dilahirkan tidak lama setelah Nabi diutus Umurnya 10 tahun ketika ikut masuk bersama ayahnya. Kemudian mendahului ayahnya ia hijrah ke Madinah. Pada saat perang Uhud ia masih terlalu kecil untuk ikut perang. Dan tidak mengizinkannya. Tetapi setelah selesai perang Uhud ia banyak mengikuti peperangan, seperti perang Qadisiyah, Yarmuk, Penaklukan Afrika, Mesir dan Persia, serta penyerbuan basrah dan Madain.

Az-Zuhri tidak pernah meninggalkan pendapat Ibnu Umar untuk beralih kepada pendapat orang lain. Imam Malik

dan az-Zuhri berkata:” Sungguh, tak ada satupun dari urusan Rasulullah dan para sahabatnya yang tersembunyi bagi Ibnu Umar”. Ia meriwayatkan hadits dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Sayyidah Aisyah, saudari kandungnya Hafshah dan Abdullah bin Mas’ud. Yang meriwayatkan dari Ibnu Umar banyak sekali, diantaranya Sa’id bin al-Musayyab, al Hasan al Basri, Ibnu Syihab az-Zuhri, Ibnu Sirin, Nafi’, Mujahid, Thawus dan Ikrimah.

Ia wafat pada tahun 73 H. ada yang mengatakan bahwa Al-Hajjaj menyusupkan seorang kerumahnya yang lalu membunuhnya. Dikatakan mula mula diracun kemudian di tombak dan di rejam. Pendapat lain mengatakan bahwa ibnu Umar meninggal secara wajar.

Sanad paling shahih yang bersumber dari ibnu Umar adalah yang disebut Silsilah adz- Dzahab (silsilah emas), yaitu Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar. Sedang yang paling Dlaif : Muhammad bin Abdullah bin al-Qasim dari bapaknya, dari kakeknya, dari ibnu Umar.

Disalin dari Biografi Ibnu Umar dalam Al-Ishabah no.4825 dan Tahdzib al-Asma’ 1/278, Thabaqat Ibn Sa’ad 4/105. Apabila antum ingin mengetahui lebih mendalam tentang Biografi Abdullah bin Umar, antum dapat membaca buku-buku rujukan dibawah ini :
1. Sirah Shahabat
2. Ringkasan Syiar A'lam An-Nubala

Biografi Abdullah bin Abbas


Biografi Abdullah bin Abbas (wafat 68 H)- Abdullah bin Abbas adalah sahabat kelima yang banyak meriwayatkan hadist sesudah Sayyidah Aisyah, ia meriwayatkan 1.660 hadits. Dia adalah putera Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, paman Rasulullah dan ibunya adalah Ummul Fadl Lababah binti harits saudari ummul mukminin Maimunah.

Sahabat yang mempunyai kedudukan yang sangat terpandang ini dijuluki dengan Informan Umat Islam. Beliaulah asal silsilah khalifah Daulat Abbasiah. Dia dilahirkan di Mekah dan besar di saat munculnya Islam, di mana beliau terus mendampingi Rasulullah sehingga beliau mempunyai banyak riwayat hadis sahih dari Rasulullah . Beliau ikut di barisan Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan perang Shiffin. Beliau ini adalah pakar fikih, genetis Arab, peperangan dan sejarah. Di akhir hidupnya dia mengalami kebutaan, sehingga dia tinggal di Taif sampai akhir hayatnya.

Abdullah lahir tiga tahun sebelum hijrah dan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam mendoakannya “Ya Allah berilah ia pengertian dalam bidang agama dan berilah ia pengetahuan takwil (tafsir)”.Allah mengabulkan doa Nabi-nya dan Ibnu Abbas belakangan terkenal dengan penguasaan ilmunya yang luas dan pengetahuan fikihnya yang mendalam , menjadikannya orang yang dicari untuk di mintai fatwa penting sesudah Abdullah bin Mas’ud, selama kurang lebih tiga puluh tahun. tentang Ibnu Abbas, Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah berkata :”Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih mengerti dari pada Ibnu Abbas tentang ilmu hadits Nabi Shallallahu alaihi Wassalam serta keputusan2 yang dibuat Abubakar ,Umar , dan Utsman“.

Begitu pula tentang ilmu fikih ,tafsir ,bahasa arab , sya’ir , ilmu hitung dan fara’id. Orang suatu hari menyaksikan ia duduk membicarakan ilmu fiqih, satu hari untuk tafsir, satu hari lain untuk masalah peperangan, satu hari untuk syair dan memperbincangkan bahasa Arab. Sama sekali aku tidak pernah melihat ada orang alim duduk mendengarkan pembicaraan beliau begitu khusu’ nya kecuali kepada beliau. Dan setiap pertanyaan orang kepada beliau, pasti ada jawabannya”.

Menurut An-Nasa’I, sanad hadits Ibnu Abbas paling Shahih adalah yang diriwayatkan oleh az-Zuhri, dari Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utba, dari Ibnu abbas. Sedangkan yang paling Dlaif adalah yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Marwan as-Suddi Ash-Shaghir dan Al-Kalabi, dari Abi Shalih. Rangkaian ini disebut silsilah Al-Kadzib (silsilah bohong).

Ibnu Abbas mengikuti Perang Hunain, Thaif, Penaklukan Makkah dan haji wada’. Ia menyaksikan penaklukan Afrika bersama Ibnu Abu as-Sarah. Perang Jamal dan Perang Shiffin bersama Ali bin Abi Thalib.

Ia wafat di Thaif pada tahun 68 H. Ibnu al-Hanafiyah ikut menshalatkanya.

Disalin dari : Biografi Ibnu Abbas dalam Al-Ishabah no.4772. Apabila antum ingin mengetahui lebih mendalam tentang Biografi Abdullah bin Abbas , antum dapat membaca buku-buku rujukan dibawah ini :
1. Sirah Shahabat

2. Ringkasan Syiar A'lam An-Nubala

Biografi Ibnu Zubair


Ibnu Zubair - Seorang pemimpin masa Khalifah Ali bin Abi Talib dan awal khilafah Bani Umayyah. Dia adalah bayi pertama yang lahir dikalangan Muhajirin di Madinah. Ayahnya bernama Zubair Awwam dan ibunya, Asma binti Abu Bakar as-Siddiq. Ia sepupu dan juga kemenakan Nabi Muhammad dari istrinya, Aisyah binti Abu Bakar. Ia termasuk salah seorang dari “Empat ‘Ibadillah” (empat orang yang bernama Abdullah) dari 30 orang lebih sahabat Nabi yang dikenal menghafal seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, Tiga orang ‘Ibadillah lainnya adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar bin Khatab, dan Abdullah bin Amr bin As.

Ibnu Zubair telah mengenal perang sejak berusia 12 tahun, yaitu ketika bersama ayahnya turut dalam Perang Yarmuk, dan empat tahun kemudian kembali menyertai ayahnya yang menjadi anggota pasukan Amr bin As di Mesir. Ibnu Zubair juga mengambil bagian dalam ekspedisi Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh melawan orang-orang Byzantium di Afrika. Semua peristiwa tersebut mengundang kekaguman penduduk Madinah kepadanya.

Di masa Khalifah Usman bin Affan, ia duduk sebagai anggota panitia yang bertugas menyusun Al-Qur’an. Di masa KhalifahAli bin Abi Talib, ia bersama Aisyah mengatur langkah untuk menantang Khalifah tersebut untuk menuntut penyelesaian kasus pembunuhan Khalifah Usman. Gerakan ini didukung oleh beberapa tokoh, seperti Ja’la bin Umayyah dari Yaman, Abdullah bin Amr Basra, Sa’ad bin As, dan Wahid bin Uqbah (pemuka kalangan Umayyah di Hedzjaz) dan beberapa sahabat senior (Talhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam), dan ayahnya. Perselisihan antara kelompoknya dan kelompok Ali yang sedang berkuasa diselesaikan dalam Perang Unta (Waqiah al-Jamal). Dalam perang inilah ia menyaksikan ayahnya gugur. Disebut Perang Unta karena Aisyah mengendarai unta saat memimpin pasukan itu.

Ibnu Zubair kembali melawan Dinasti Bani Umayyah. Meskipun di masa Mu’awiyah bin Abi Sufyan bentuk perlawanannya belum bersifat terbuka, ia tampil menantang khilafah (pemerintahan) Bani Umayyah secara terang-terangan. Ia memprotes Yazid, putra Mu’awiyah, yang naik menjadi khalifah atas penunjukan ayahnya setelah ayahnya wafat. Yazid memerintahkan walinya di Madinah untuk memaksa Ibnu Zubair bersama Husein bin Ali (cucu Nabi) dan Abdullah bin Umar agar menyatakan kesetiaan kepadanya. Ibnu Zubair dan Husein tetap membangkang. Demi keamanan, keduanya pindah ke Mekah. Ia tetap sebagai penantang khalifah sekalipun Husein, tak lama sesudah itu, tewas dengan menyedihkan dalam pertempuran tak seimbang di Karbala.

Pernyataan secara terbuka, bahwa kekuasaan Yazid tidak sah membawa pengaruh luas dikalangan ansar di Madinah yang akhirnya melahirkan pemberontakan. Setelah menunggu kesempatan yang baik, Yazid mengerahkan tentara Suriah di bawah pimpinan Muslim bin Uqbah dan memadamkan pemberontakan orang-orang Madinah tersebut dalam Perang Harran. Kematian Muslim bin Uqbah tak menghalangi tentara tersebut untuk bergerak menuju Mekah dengan sasaran mematahkan perlawanan Ibnu Zubair. Tentara tersebut mengepung dan menghujani kota Mekah dengan batu dan panah api yang menyebabkan Ka’bah terbakar. Berita meninggalnya Khalifah Yazid menyebabkan komandan pasukan, Husain bin Numair, mencoba membujuk Ibnu Zubair agar bersedia bergabung dengan mereka untuk kembali ke Suriah. Ibnu Zubair menolak bujukan tersebut dengan mengatakan bahwa ia akan tetap di Mekah. Selanjutnya, ia memproklamasikan dirinya sebagai amirulmukminin. Sekalipun proklamasi itu tidak lebih dari sekedar nama, namun lawan-lawan dinasti Bani Umayyah di Suriah, Mesir, Arab Selatan, dan Kufah sempat menghargainya sebagai khalifah.

Setelah Mu’awiyah putra dan pengganti Yazid meninggal dunia, Ibnu Zubair muncul sebagai kandidat khalifah atas dukungan Bani Qais. Selain itu ada kandidat lainnya yaitu, Marwan bin Haqam (dukungan Bani Qalb) dan dua kabilah Arab berdomisili di Suriah, juga saling bersaing mengajukan calon masing-masing. Akan tetapi, Ibnu Zubair terpojok tatkala peta kekuatan politik mengalami perubahan, akibat pemberontakan di Kufa dan pembelontan di antara pengikutnya, setelah Yazid wafat. Pengepungan membawa kematiannya terjadi ketika

Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi ditugaskan oleh khalifah Abdul Malik bin Marwan, putra Marwan bin Hakam, untuk menyelesaikan perlawanan “Sang Penantang Enam Khalifah” – dari Ali, Mu’awiyah, Yazid, Mu’awiyah, Marwan bin Hakam, sampai Abdul Malik.

Tidak kurang dari tujuh bulan diperlukan untuk menghujani kota suci Mekah dan Ka’bah dengan bombardir pasukan al-Hajjaj untuk melumpuhkan perlawanan Ibnu Zubair. Ia masih bertahan tatkala putra-putranya menyerahkan diri kepada al-Hajjaj. Keperkasaannya bangkit kembali setelah berjumpa sebentar dengan ibunya yang sudah buta, yang mendorongnya dengan memberikan semangat juang. Padahal sebelumnya, ia sempat menyatakan kepada ibunya rasa khawatir, bahwa mayatnya akan diperlakukan secara sadis oleh para pembunuhnya kelak. Ibunya mengatakan bahwa kambing yang sudah disembelih tak sedikit pun akan merasakan sayatan-sayatan pada dagingnya. Jawaban ini mendorongnya keluar dari rumah tempat ia bertahan , maju ke tengah-tengah lawannya yang kemudian menyergap dan menghabisinya. Mayatnya ditempatkan pada tiang gantung yang sama di mana saudaranya, Amr, pernah mengalami hal serupa. Atas perintah Abdul Malik, mayatnya kemudian diserahkan kepada ibunya. Tak lama berselang, setelah menguburkan mayat putranya itu, ia pun wafat pada tahun 94 H.

Apabila antum ingin mengetahui lebih mendalam tentang Biografi Ibnu Zubair , antum dapat membaca buku-buku rujukan dibawah ini :
1. Sirah Shahabat

2. Ringkasan Syiar A'lam An-Nubala

Biografi Abdullah bin Amr bin Al-Ash


Abdullah bin Amr bin Al-Ash (Wafat 63 H) - Dia adalah seorang dari Abadilah yang faqih, ia memeluk agama Islam sebelum ayahnya, kemudian hijrah sebelum penaklukan Mekkah. Abdullah seorang ahli ibadah yang zuhud, banyak berpuasa dan shalat, sambil menekuni hadits Rasulullah Shallahllahu ‘alaihi Wassalam. Jumlah hadits yang ia riwayatkan mencapai 700 hadits, Sesudah minta izin Nabi Shallahu ‘alaihi Wassalam untuk menulis, ia mencatat hadits yang didengarnya dari Nabi. Mengenai hal ini Abu Hurairah berkata “ Tak ada seorangpun yang lebih hapal dariku mengenai hadits Rasulullah, kecuali Abdullah bin Amr bin al-Ash. Karena ia mencatat sedangkan aku tidak”.

Abdullah bin Amr meriwayatkan hadits dari Umar, Abu Darda, Muadz bin Jabal, Abdurahman bin Auf, dan beberapa yang lain. Yang meriwayatkan darinya antara lain Abdullah bin Umar bin Al-Khatthab, as-Sa’ib bin Yazid, Sa’ad bin Al-Musayyab, Thawus, dan Ikrimah.

Sanad paling shahih yang berpangkal darinya ialah yang diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib dari ayahnya dan kakeknya Abdullah.

Abdullah bin Amr wafat pada tahun 63 H pada malam pengepungan Al-Fusthath.

disalin dari Biografi Abdullah bin Amr dalam Al-Ishabah no.4838 Ibn Hajar Asqalani, Thabaqat ibn Sa’ad 4/9. Apabila antum ingin mengetahui lebih mendalam tentang Biografi Abdullah bin Amr bin Al-Ash , antum dapat membaca buku-buku rujukan dibawah ini :
1. Sirah Shahabat

2. Ringkasan Syiar A'lam An-Nubala

Biografi Ibnu mas’ud


Ibnu mas’ud (Abdullah bin Mas’ud) Wafat 32 H - Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil al-Hudzali. Nama julukannya “ Abu Abdirahman”. Ia sahabat ke enam yang paling dahulu masuk islam. Ia hijrah ke Habasyah dua kali, dan mengikut semua peperangan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Dalam perang Badar, Ia berhasil membunuh Abu Jahal.

Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bersabda” Ambilah al-Quran dari empat orang: Abdullah, Salim (sahaya Abu Hudzaifah), Muadz bin Jabal dan Ubay bin Ka’ab”. Menurut para ahli hadits, kalau disebutkan “Abdullah” saja, yang dimaksudkan adalah Abdullah bin Mas’ud ini.

Ketikah menjadi Khalifah Umar mengangkatnya menjadi Hakim dan Pengurus kas negara di kufah. Ia simbol bagi ketakwaan, kehati-hatian, dan kesucian diri.

Sanad paling shahih yang bersumber dari padanya ialah yang diriwayatkan oleh Suyan ats-Tsauri, dari Mansyur bin al-Mu’tamir, dari Ibrahi, dari alqamah. Sedangkan yang paling dlaif adalah yang diriwayatkan oleh Syuraik dari Abi Fazarah dari Abu Said.

Ia meriwayatkan hadits dari Umar dan Sa’ad bin Mu’adz. Yang meriwayatkan hadits darinya adalah Al-Abadillah (“Empat orang yang bernama Abdullah”), Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, Abu Musa al-Asy’ari, Alqamah, Masruq, Syuraih al-Qadli, dan beberapa yang lain. Jumlah hadits yang ia riwayatkan mencapai 848 hadits.

Beliau datang ke Medinah dan sakit disana kemudian wafat pada tahun 32 H dan dimakamkan di Baqi, Utsman bin ‘Affan ikut menshalatkannya.

Disalin dari : Biografi Ibn Mas’ud dalam Al-Ishabah: Ibn Hajar Asqalani no.4945. Apabila antum ingin mengetahui lebih mendalam tentang Biografi Ibnu mas’ud , antum dapat membaca buku-buku rujukan dibawah ini :
1. Sirah Shahabat

2. Ringkasan Syiar A'lam An-Nubala

Biografi Anas bin Malik


Anas bin Malik (Wafat 93 H) - Anas bin Malik urutan ke tiga dari sahabat yang banyak meriwayatkan hadist, Ia meriwayatkan sebanyak 2.286 hadits.

Anas adalah (Khadam) pelayan Rasulullah yang terpercaya, ketika ia berusia 10 tahun, ibunya Ummu sulaiman membawanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam untuk berkhidmat. Ayahnya bernama Malik bin an-Nadlr. Rasulullah sering bergurau dengan Anas bin Malik, dan Rasulullah sendiri tidaklah bersikap seperti seorang majikan kepada hambanya.

Anas sendiri pernah berkata:” Rasulullah Shallallahu alaihi wasssalam tidak pernah menegur apa yang aku perbuat, beliau juga tidak pernah menanyakan tentang sesuatu yang aku tidak kerjakan, akan tetapi beliau selalu mengucapkan Masya’allahu kan wa ma lam yasya”.

Anas bin Malik tidak berperang dalam perang Badar yang akbar, karena usianya masih sangat muda. Tetapi ia banyak mengikuti peperangan lainnya sesudah itu. Pada waktu Abu Bakar meminta pendapat Umar mengenai pengangkatan Anas bin Malik menjadi pegawai di Bahrain, Umar memujinya :” Dia adalah anak muda yang cerdas dan bisa baca tulis, dan juga lama bergaul dengan Rasulullah”.

Sedangkan Komentar Abu Hurairah tentangnya : “ Aku belum pernah melihat orang lain yang shalatnya menyerupai Rasulullah kecuali Ibnu Sulaiman (Anas bin Malik)”.

Ibn Sirin berkata:” Dia (Anas) paling bagus Shalatnya baik di rumah maupun ketika sedang dalam perjalanan”.

Pada hari hari terakhir masa kehidupannya, Anas pindah ke Basrah, Sebagian lain mengatakan kepindahannya karena terkena fitnah Ibn al-Asy’ats yang mendorong Hajjaj mengancamnya. Maka tidak ada jalan lain bagi anas bin Malik untuk pindah ke Basrah yang menjadikan satu satunya sahabat Nabi disana.

Itulah sebabnya para Ulama mengatakan bahawa Anas bin Malik adalah sahabat terakhir yang meninggal di Basrah., pada wafatnya Muwarriq berkata: “ Telah hilang separuh ilmu. Jika ada orang suka memperturutkan kesenangannya bila berselisih dengan kami, kami berkata kepadanya, marilah menghadap kepada orang yang pernah mendenganr dari Rasululah Shallallahu alaihi wassalam”.

Sanad paling sahih yang bersumber awalnya dari : Malik, dari az-Zuhri, dan dia (Anas bin Malik). Sedangkan yang paling Dlaif dari Dawud bin al-Muhabbir, dari ayahnya Muhabbir dari Abban bin Abi Iyasy dari dia.

Ia wafat pada tahun 93 H dalam usia melampaui seratus tahun.

Disalin dari Biografi Anas dalam Thabaqaat Ibn sa’ad 7/10 dan Tahdzib 3/319

Biografi Zaid bin Tsabit


Zaid bin Tsabit (wafat 45 H) - Nama lengkapnya adalah Zaid bin Tsabit bin Adh-Dhahak bin Zaid Ludzan bin Amru, dia masuk islam ketika umur 11 tahun ketika perang Badar terjadi.

Perjalanan hidupnya.

Nabi menyerahkan bendera Bani Malik bin an-Najjar kepada ‘Imarah sebagai komandan perang Tabuk, lalu Nabi mengambilnya dan diserahkan kepada Zaid bin Tsabit. Ketika beliau memintanya, maka Imarah bertanya,” Ya Rasulullah, apakah engkau akan menyerahkan sesuatu yang engkau berikan kepadaku?. Beliau menjawab,” Tidak, tetapi al-Quran harus didahulukan, dan Zaid bin Tsabit lebih banyak menguasai bacaan Al-Quran daripadamu”.

Zaid juga sebagai penulis wahyu bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam.

Saat Umar menjadi Khalifah dia diangkat sebagai amir (gubernur) Madinah sebanyak 3 kali di ibukota atau di wilayah pusat kekuasaan, dan dia juga ditugaskan untuk mengumpulkan al-Quran atas perintah Abu Bakar dan Umar sebagai mana dijelaskan dalam riwayat yang diriwayatkan oleh Bukhari : “Zaid bin Tsabit berkata” Aku disuruh menghadap Abu Bakar berkenaan dengan pembunuhan yang dilakukan penduduk Yamamah, dan ketika itu dihadapan nya ada Umar bin al-Khaththab. Lalu Abu Bakar berkata, “Jika perang terus berkecamuk banyak memakan korban jiwa kaum muslimin, banyak para penghapal al-Quran di negeri ini terbunuh, dimana akhirnya banyak bagian al-Quran yang hilang maka agar al-Quran dibukukan, aku berpandangan sama dengan Umar, engkau laki laki yang cerdas dan masih muda, maka cari dan kumpulkanlah (Mushaf) al-Quran”.

Zaid bin Tsabit adalah seorang ulama yang kedudukannya sama dengan para ulama dari kalangan sahabat lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,” Umatku yang paling menguasai ilmu Faraidh adalah Zaid bin Tsabit”. Riwayat lain yang senada terdapat dalam riwayat Imam an-Nasa’I dan Ibnu Majah, dimana nabi bersabda,” Umatku yang paling penyayang adalah Abu Bakar, yang paling kuat kesaksiannya dihadapan Allah adalah Umar, yang paling diakui perasaan malunya adalah Utsman dan yang paling menguasai faraidh adalah Zaid bin Tsabit.”.

Ketika Zaid bin Tsabit wafat maka Abu Hurairah berkata,” Telah wafat orang terbaik dari umat ini semoga Allah menjadikan Ibnu abbas sebagai penggantinya”.

Wafatnya

Ia wafat di Madinah pada tahun 45 H dalam usia 56 tahun (dalam riwayat lain ia wafat tahun 51 H atau 52 H)

Disalin dari biografi Shafwah ash shafwah ibnu Jauzi, Al-Istia’aab Ibn Al-Barr

Biografi Abu Hurairah


Abu Hurairah - (wafat 57 H) Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadist Nabi Shallallahu alaihi wassalam , ia meriwayatkan hadist sebanyak 5.374 hadist.

Abu Hurairah memeluk Islam pada tahun 7 H, tahun terjadinya perang Khibar, Rasulullah sendirilah yang memberi julukan “Abu Hurairah”, ketika beliau sedang melihatnya membawa seekor kucing kecil. Julukan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam itu semata karena kecintaan beliau kepadanya.

Allah Subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Rasulullah agar Abu Hurairah dianugrahi hapalan yang kuat. Ia memang paling banyak hapalannya diantara para sahabat lainnya.

Pada masa Umar bin Khaththab menjadi Khalifah, Abu Hurairah menjadi pegawai di Bahrain, karena banyak meriwayatkan hadist Umar bin Khaththab pernah menetangnya dan ketika Abu Hurairah meriwayatkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wassalam :” Barangsiapa berdusta mengatasnamakanku dengan sengaja, hendaklah ia menyediakan pantatnya untuk dijilat api neraka”. Kalau begitu kata Umar, engkau boleh pergi dan menceritakan hadist.

Syu’bah bin al-Hajjaj memperhatikan bahwa Abu Hurairah meriwayatkan dari Ka’ab al-Akhbar dan meriwayatkan pula dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, tetapi ia tidak membedakan antara dua riwayatnya tersebut. Syu’bah pun menuduhnya melakukan tadlis, tetapi Bisyr bin Sa’id menolak ucapan Syu’bah tentang Abu Hurairah. Dan dengan tegas berkata: Bertakwalah kepada allah dan berhati hati terhadap hadist. Demi Allah, aku telah melihat kita sering duduk di majelis Abu Hurairah. Ia menceritakan hadist Rasulullah dan menceritakan pula kepada kita riwayat dari Ka’ab al-Akhbar. Kemudian dia berdiri, lalu aku mendengan dari sebagian orang yang ada bersama kita mempertukarkan hadist Rasulullah dengan riwayat dari Ka’ab. Dan yang dari Ka’ab menjadi dari Rasulullah.”. Jadi tadlis itu tidak bersumber dari Abu Hurairah sendiri, melainkan dari orang yang meriwayatkan darinya.

Cukupkanlah kiranya kita mendengar kan dari Imam Syafi’I :” Abu Hurairah adalah orang yang paling hapal diantara periwayat hadist dimasanya”.

Marwan bin al-Hakam pernah mengundang Abu Hurairah untuk menulis riwayat darinya, lalu ia bertanya tentang apa yang ditulisnya, lalu Abu Hurairah menjawab :” Tidak lebih dan tidak kurang dan susunannya urut”.

Abu Hurairah meriwayatkan hadist dari /abu Bakar, Umar, Utsman, Ubai bin Ka’ab, Utsman bin Za’id, Aisyah dan sahabat lainnya. Sedangkan jumlah orang yang meriwayatkan darinya melebihi 800 orang, terdiri dari para sahabat dan tabi’in. diantara lain dari sahabat yang diriwayatkan adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, dan Anas bin Malik, sedangkan dari kalangan tabi’in antara lain Sa’id bin al-Musayyab, Ibnu Sirin, Ikrimah, Atha’, Mujahid dan Asy-Sya’bi.

Sanad paling shahih yang berpangkal daripadanya adalah Ibnu Shihab az-Zuhr, dari Sa’id bin al-Musayyab, darinya (Abu Hurairah).

Adapun yang paling Dlaif adalah as-Sari bin Sulaiman, dari Dawud bin Yazid al-Audi dari bapaknya (Yazid al-Audi) dari Abu Hurairah.

Ia wafat pada tahun 57 H di Aqiq.

Disalin dari Biografi Abu Hurairah dalam Al-Ishabah Ibn Hajar Asqalani No. 1179, Tahdzib al ‘asma: An-Nawawi 2/270

Biografi Jabir bin Abdullah


Jabir bin Abdullah (wafat 74H) Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 hadist, Ayahnya bernama Abdullah bin Amr bin Hamran Al-Anshari as-Salami. Ia bersama ayahnya dan seorang pamannya mengikuti Bai’at al-‘Aqabah kedua di antara 70 sahabat anshar yang berikrar akan membantu menguatkan dan menyiarkan agama Islam, Jabir juga mendapat kesempatan ikut dalam peperangan yang dilakukan pleh Nabi, kecuali perang Badar dan Perang Uhud, karena dilarang oleh ayahku. Setelah Ayahku terbunuh, aku selalu ikut berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.

Jabir bin Abdullah pernah melawat ke Mesir dan Syam dan banyak orang menimba ilmu darinya dimanapun mereka bertemu dengannya. Di Masjid Nabi Madinah ia mempunyai kelompok belajar , disini orang orang berkumpul untuk mengambil manfaat dari ilmu dan ketakwaan.

Ia wafat di Madinah pada tahun 74 H. Abbas bin Utsman penguasa madinah pada waktu itu ikut mensholatkannya.

Sanad terkenal dan paling Shahih darinya adalah yang diriwayatkan oleh penduduk Makkah melalui jalur Sufyan bin Uyainah, dari Amr bin Dinar, dari Jabir bin Abdullah.

(biografi jabir dalam Al-Ishabah 1/213 dan Tahdzib al-Asma 1/142)

Biografi Abu Sa’id Al-Khudri


Abu Sa’id Al-Khudri (wafat 74 H) Abu Sa’id Al-Khudri adalah orang ke tujuh yang banyak meriwayatkan hadist dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Telah meriwayatkan 1.170 hadits. Orang orang pernah memintanya agar mengizinkan mereka menulis hadits hadits yang mereka dengar darinya. Ia menjawab “ Jangan sekali kali kalian menulisnya dan jangan kalian menjadikan sebagai bacaan, tetapi hapalkan sebagaimana aku menghapalnya”.

Abi Sa’id lebih dikenal dengan nama aslinya adalah Sa’ad bin Malik bin Sinan. Ayahnya Malik bin Sinan syahid dalam peperangan Uhud, Ia seorang Khudri nasabnya bersambung dengan Khudrah bin Auf al-Harits bin al-Khazraj yang terkenal dengan julukan “Abjar”.

Ketika perang Uhud pecah ayahnya (malik) membawanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan meminta agar anaknya diikutkan dalam peperangan. Pada waktu itu Jabir masih berusia 13 tahun, namun ayahnya menyanjung kekuatan tubuh anaknya:” Dia bertulang besar ya Rasulullah” tetapi, Rasulullah tetap menganggapnya masih kecil dan menyuruh membawanya pulang.

Abu Sa’id al-Khudri adalah salah seorang diantara para sahabat yang melakukan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam mereka berikrar tidak akan tergoyahkan oleh cercaan orang dalam memperjuangkan agama Allah Subhanahu wa ta’ala, mereka tergabung dalam kelompok Abu Dzarr al-Ghifari, Sahl bin Sa’ad, Ubaidah bin ash Shamit dan Muhammad bin Muslimah.

Abu Sa’id al-Khudri bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dalam perang Bani Musthaliq, perang Khandaq dan perang perang sesudahnya, secara keseluruhan ia mengikuti 12 kali peperangan.

Riwayatnya dari para sahabat lain banyak sekali namun sumber yang paling terkenal adalah bapaknya sendiri Malik bin Sinan, saudaranya seibu Qatadah bin an-Nu’man, Abu Bakan, Umar, Utsman, Ali, Abu Musa al-Asy’ari, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Salam.

Sedangkan orang orang yang meriwayatkan hadits darinya adalah anaknya sendiri Aburahman, istrinya Zainab bin Ka’ab bin Ajrad, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abu Thufail, Nafi’ dan Ikramah.

Abu sa’id membawa putranya Abdurahman ke tanah pemakaman Baqi, dan berpesan agar ia nanti dimakamkan di bagian jauh dari tempat itu. Katanya: “ Wahai anakku, apabila aku meninggal dunia kelak, kuburkanlah aku disana, Jangan engkau buat tenda untuk, jangan engkau mengiringi Jenazahku dengan membawa api, Jangan engkau tangisi aku dengan meratap-ratap, dan jangan memberitahukan seorangpun tentang diriku”.

Kemudian ia beliau wafat pada tahun 74 H

Disalin dari Biografi Abu Sa’id dalam Tahdzib at Tahdzib 3/49

Biografi Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu


Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu (Wafat 18 H) Muadz bin Jabal bin Amr bin Aus al-Khazraji, dengan nama julukan “Abu Abdurahman”, dilahirkan di Madinah. Ia memeluk Islam pada usia 18 tahun, Ia mempunyai keistimewaan sebagai seorang yang sangat pintar dan berdedikasi tinggi. Dari segi fisik, ia gagah dan perkasa. Allah juga mengaruniakan kepadanya kepandaian berbahasa serta tutur kata yang indah, Muadz termasuk di dalam rombongan yang berjumlah sekitar 72 orang Madinah yang datang berbai’at kepada Rasulullah. Setelah itu Muadz kembali ke Madinah sebagai seorang pendakwah Islam di dalam masyarakat Madinah. Ia berhasil mengislamkan beberapa orang sahabat yang terkemuka seperti misalnya Amru bin Al-Jamuh.

Pada waktu Nabi Muhammad berhijrah ke Madinah, Muaz senantiasa berada bersama dengan Rasulullah sehingga ia dapat memahami Al-Qur’an dan syariat-syariat Islam dengan baik. Hal tersebut membuatnya di kemudian hari muncul sebagai seorang yang paling ahli tentang Al-Qur’an dari kalangan para sahabat. Ia adalah orang yang paling baik membaca Al-Qur’an serta paling memahami syariat-syariat Allah. Oleh sebab itulah Rasulullah memujinya dengan bersabda, “Yang kumaksud umatku yang paling alim tentang halal dan haram ialah Muaz bin Jabal.” (Hadist Tirmidzi dan Ibnu Majah). Ia meriwayatkan hadist dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar dan meriwayatkan darinya ialah Anas bin Malik, Masruq, Abu Thufail Amir bin Wasilah. Selain itu, Muadz merupakan salah satu dari enam orang yang mengumpulkan Al-Qur’an pada zaman Rasulullah.

Setelah kota Makkah didatangi oleh Rasulullah, penduduk Makkah memerlukan tenaga-tenaga pengajar yang tetap tinggal bersama mereka untuk mengajarkan syariat agama Islam. Rasulullah lantas menyanggupi permintaan tersebut dan meminta supaya Muaz tinggal bersama dengan penduduk Makkah untuk mengajar Al-Qur’an dan memberikan pemahaman kepada mereka mengenai agama Allah. Sifat terpuji beliau juga jelas terlihat manakala rombongan raja-raja Yaman datang menjumpai Rasulullah guna meng-isytihar-kan keislaman mereka dan meminta kepada Rasulullah supaya mengantarkan tenaga pengajar kepada mereka. Begitupun maka Rasulullah memilih Muaz untuk memegang tugas itu bersama-sama dengan beberapa orang para sahabat.

Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam mempersaudarakanya dengan Abdullah bin Mas’ud. Nabi mengirimnya ke negeri Yaman untuk mengajar, memberikan pengetahuan agama dan mendidik sampai hapal al-Quran kepada penduduk Yaman. Rasulullah mengantarnya dengan berjalan kaki sedangkan Mu’adz berkendaraan, dan Nabi bersabda kepadanya: ” Sungguh, aku mencintaimu“.

Lantas beliau mewasiatkan kepada Muadz dengan bersabda : “Wahai Muadz! Kemungkinan kamu tidak akan dapat bertemu lagi dengan aku selepas tahun ini“, Kemudian Muadz menangis karena terlalu sedih untuk berpisah dengan Rasulullah Shallalahu alaihi wassalam. Selepas peristiwa tersebut ternyata Rasulullah wafat dan Muadz tidak lagi dapat melihatnya.

Muadz sangat terpukul atas berpulangnya Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Ia bahkan menangis tersedu-sedu selama beberapa saat. Namun ia segera menyadari tanggung jawab dakwah di pundaknya. Ia senantiasa menjaga ghirah (semangat) keislamannya agar tidak surut. Setelah Umar bin Khattab dilantik menjadi khalifah, ia mengutus Muaz untuk mendamaikan pertikaian yang terjadi di kalangan Bani Kilab. Ia pun sukses menjalankan misi itu.

Pada zaman pemerintahan Khalifah Umar pula, gubernur Syam (sekarang Mesir) mengirimkan Yazid bin Abi Sofian untuk meminta guru bagi penduduknya. Lalu Umar memanggil Muaz bin Jabal, Ubaidah bin As-Somit, Abu Ayub Al-Ansary, Ubai bin Kaab dan Abu Darda’ dalam satu majelis. Khalifah Umar berkata kepada mereka : “Sesungguhnya saudara kamu di negeri Syam telah meminta bantuan daripada aku supaya mengantar siapa saja yang dapat mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka dan memberikan pemahaman kepada mereka tentang agama Islam. Oleh karena itu bantulah aku untuk mendapat tiga orang dari kalangan kamu semoga Allah merahmati kamu. Sekiranya kamu ingin membuat pengundian, kamu boleh membuat undian, jika tidak aku akan melantik tiga orang dari kalangan kamu.”

Lalu mereka menjawab : “Kami tidak akan membuat pengundian dengan memandang bahwa Abu Ayub telah terlalu tua, sedang Ubai pun senantiasa mengalami kesakitan, dan yang tinggal hanya kami bertiga saja.” Kemudian Umar berkata kepada mereka : “Kalian mulailah bertugas di Hims, sekiranya kamu suka dengan keadaan penduduknya, bolehlah salah seorang diantara kamu tinggal di sana. Kemudian salah seorang daripada kamu hendaknya pergi ke Damsyik, dan seorang lagi pergi ke Palestina.”

Lalu mereka bertiga keluar ke Hims dan mereka meninggalkan Ubaidah bin As-Somit di sana, Abu Darda’ pergi ke Damsyik. Muaz bin Jabal terus berlalu pergi ke negara Urdun. Muaz bin Jabal berada di Urdun pada saat negeri tersebut tengah terserang wabah penyakit menular.

Mu’adz bin Jabal wafat tahun 18 H ketika terjadi wabah hebat di Urdun tersebut, waktu itu usianya 33 tahun .
Disalin dari Biografi Mu’adz dalam Al-Ishabah no.8039 karya Ibn Hajar Asqalani dan Thabaqat Ibn Sa’ad 3/Q2,120

Biografi Abu Dzarr Al-Ghifari


Bani Ghifar adalah qabilah Arab suku badui yang tinggal di pegunungan yang jauh dari peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini terkenal sebagai gerombolan perampok yang senang berperang dan menumpahkan darah serta pemberani. Bani Ghifar terkenal juga sebagai suku yang tahan menghadapi penderitaan dan kekurangan serta kelaparan. Latar belakang tabi’at kesukuan, apakah itu tabiat yang baik ataukah tabi’at yang jelek, semuanya terkumpul pada diri Abu Dzar.

Nama lengkapnya yang mashur ialah Jundub bin Junadah Al Ghifari dan terkenal dengan kuniahnya Abu Dzar. Di suatu hari tersebar berita di kampung Bani Ghifar, bahwa telah muncul di kota Makkah seorang yang mengaku sebagai utusan Allah dan mendapat berita dari langit. Serta merta berita ini sangat mengganggu penasaran Abu Dzar, sehingga dia mengutus adik kandungnya bernama Unais Al Ghifari untuk mencari berita ke Makkah. Unais sendiri adalah seorang penyair yang sangat piawai dalam menggubah syair-syair Arab. Berangkatlah Unais ke Makkah untuk mencari tau apa sesungguhnya yang terjadi di Makkah berkenaan dengan berita kemunculan utusan Allah itu. Dan setelah beberapa lama, kembalilah Unais kekampungnya dan melaporkan kepada Abu Dzar tentang yang dilihat dan didengar di Makkah berkenaan dengan berita tersebut. Ditanyakan oleh Abu Dzar kepada Unais : “Apa yang telah kamu lakukan ?”, tanyanya. Unais menjelaskan : “Aku sungguh telah menemui seorang pria yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang jelek”.

Abu Dzar bertanya lagi : “Apa yang dikatakan orang-orang tentangnya ?”.

Unais menjawab : “Orang-orang mengatakan, bahwa dia adalah tukang sya’ir, tukang tenung, dan tukang sihir. Tetapi aku sesungguhnya telah biasa mendengar omongan tukang tenung, dan tidaklah omongannya serupa dengan omongan tukang tenung. Dan aku telah membandingkan omongan darinya dengan omongan para tukang sya’ir, ternyata amat berbeda omongannya dengan bait-bait sya’ir. Demi Allah, sesungguhnya dia adalah orang yang benar ucapannya, dan mereka yang mencercanya adalah dusta”.

Mendengar laporan dari Unais itu, Abu Dzar lebih penasaran lagi untuk bertemu sendiri dengan orang yang berada di Makkah yang mengaku telah mendapatkan berita dari langit itu. Segeralah dia berkemas untuk berangkat menuju Makkah, demi menenangkan suara hatinya itu. Dan sesampainya dia di Makkah, langsung saja menuju Ka’bah dan tinggal padanya sehingga bekal yang dibawanya habis. Dia sempat bertanya kepada orang-orang Makkah, siapakah diantara kalian yang dikatakan telah meninggalkan agama nenek moyangnya ? Orang-orangpun segera menunjukkan kepada Abu Dzar, seorang pria yang ganteng putih kulitnya dan bersinar wajahnya bak bulan purnama. Abu Dzar memang amat berhati-hati, dalam kondisi hampir seluruh penduduk Makkah memusuhi dan menentang Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Dan orangpun di Makkah dalam keadaan takut dan kuatir untuk mendekat kepada beliau sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam, karena siapa yang mendekat kepadanya bila dia adalah dari kalangan budak belian, akan menghadapi hukuman berat dari tuannya. Demikian pula bila dari kalangan pendatang dan tidak mempunyai qabilah pelindungnya di Makkah. Demi keadaan yang demikian mencekam, Abu Dzar tidak gegabah berbicara dengan semua orang dalam hal apa yang sedang dicarinya dan apa yang diinginkannya.

Dia hanya menanti dan menanti di Ka’bah, dalam keadaan semua perbekalannya telah habis. Dia berusaha mengatasi rasa lapar yang mengganggu perutnya dengan minum air zam-zam dan tidak ada makanan lain selain itu. Demikian terus suasana penantian itu berlangsung selama tiga puluh hari dan perut Abu Dzar selama itu tidak kemasukan apa-apa kecuali hanya air zam-zam. Ini sungguh sebagai karamah air zam-zam, karena nyatanya Abu Dzar badannya serasa semakin gemuk selama tiga puluh hari itu. Apa sesungguhnya yang dinantinya ? yang dinantinya hanyalah kesempatan menemui dan berdialog langsung dengan pria ganteng berwajah bulan purnama itu, untuk mengetahui darinya langsung agama apa sesungguhnya yang dibawanya. Dia setiap harinya terus menerus mengamati tingkah laku pria ganteng tersebut dan sikap masyarakatnya yang anti pati terhadapnya.

Di suatu hari yang cerah, Abu Dazar bernasib baik. Sedang dia berdiri di salah satu pojok Ka’bah, lewat di hadapan beliau Ali bin Abi Thalib dan langsung menegurnya, apakah engkau orang pendatang di kota ini ? Segera saja Abu Dzar menjawabnya : Ya ! Maka Ali bin Abi Thalib menyatakan kepadanya : Kemarilah ikut ke rumahku. Maka Abu Dzarpun pergi kerumah Ali untuk dijamu sebagai tamu. Dia tidak tanya kepada tuan rumah dan tuan rumahpun tidak tanya kepadanya tentang tujuannya datang ke kota Makkah. Dan setelah dijamu, Abu Dzarpun kembali ke Ka’bah tanpa bercerita panjang dengan tuan rumah. Tapi Ali bin Abi Thalib melihat pada gurat wajah tamunya, ada sesuatu keperluan yang sangat dirahasiakannya. Sehingga ketika esok harinya, Ali berjumpa lagi dengan tamunya di Ka’bah dan segera menanyainya : “Apakah hari ini anda akan kembali ke kampung ?”. Abu Dzar menjawab dengan tegas : “Belum !”. Mendapat jawaban demikian, Ali tidak tahan lagi untuk menanyainya : “Apa sesungguhnya urusanmu, dan apa pula yang mendatangkanmu ke mari ?”. Dan Abu Dzarpun terperangah mendapat pertanyaan demikian dari satu-satunya orang Quraisy yang telah menjamunya dan mengakrabkan dirinya dengan tamu asing ini. Tetapi Abu Dzar tidak lagi merasa asing dengan orang yang menjamunya ini, sehingga mendapat pertanyaan demikian langsung saja dia balik mengajukan syarat bernada tantangan : “Bila engkau berjanji akan merahasiakan jawabanku, aku akan menjawab pertanyaanmu”. Langsung saja Ali menyatakan janjinya : “Aku berjanji untuk menjaga rahasiamu”. Dan Abu Dzar tidak ragu lagi dengan janji pemuda Quraisy yang terhormat ini, sehingga dengan setengah berbisik dia menjelaskan kepada Ali : “Telah sampai kepada kami berita, bahwa telah keluar seorang Nabi”. Mendengar kata-kata Abu Dzar itu Ali menyambutnya dengan gembira dan menyatakan kepadanya : “Engkau sungguh benar dengan ucapanmu ?! ikutilah aku kemana aku berjalan dan masuklah ke rumah yang aku masuki. Dan bila aku melihat bahaya yang mengancammu, maka aku akan memberi isyarat kepadamu dengan berdiri mendekat ke tembok dan aku seolah-olah sedang memperbaiki alas kakiku. Dan bila aku lakukan demikian, maka segera engkau pergi menjauh”. Maka Abu Dzarpun mengikuti Ali kemanapun dia berjalan, dan dengan tidak mendapati halangan apa-apa, akhirnya dia sampai juga di hadapan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dan langsung menanyakan kepada beliau. Inilah saat yang paling dinanti oleh Abu Dzar dan ketika Rasulullah menawarkan Islam kepadanya, segera Abu Dzar menyatakan masuk Islam dituntun Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam berwasiat kepadanya : “Wahai Aba Dzar, sembunyikanlah keislamanmu ini, dan pulanglah ke kampungmu !, maka bila engkau mendengar bahwa kami telah menang, silakan engkau datang kembali untuk bergabung dengan kami”.

Mendengar wasiat tersebut Abu Dzar menegaskan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam: “Demi yang Mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh aku akan meneriakkan di kalangan mereka bahwa aku telah masuk Islam”. Dan Rasulullah mendiamkan tekat Abu Dzar tersebut.

Segera saja Abu dzar menuju Masjidil Haram dan di hadapan Ka’bah banyak berkumpul para tokoh-tokoh kafir Quraisy. Demi melihat banyaknya orang berkumpul padanya, Abu Dzar berteriak dengan sekeras- keras suara dengan menyatakan : “Wahai orang-orang Quraisy, aku sesungguhnya telah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku bersaksi pula Muhammad itu adalah hamba dan utusan Allah”.

Mendengar omongan itu, para dedengkot kafir Quraisy marah besar dan mereka berteriak memerintahkan orang-orang di situ : “Bangkitlah kalian, kejar orang murtad itu”. Maka segera orang-orang mengerumuni Abu Dzar sembari memukulinya dengan nafsu ingin membunuhnya. Syukurlah waktu itu masih ada Al Abbas bin Abdul Mutthalib tokoh Bani Hasyim paman Rasulillah yang disegani kalangan Quraisy. Sehingga Al Abbas berteriak kepada masyarakat yang sedang beringas memukuli Abu Dzar : “Celakalah kalian, apakah kalian akan membunuh seorang dari kalangan Bani Ghifar yang kalian harus melalui kampungnya di jalur perdagangan kalian”. Demi masyarakat mendapat teriakan demikian, merekapun melepaskan Abu Dzar yang telah babak belur bersimbah darah akibat dari pengeroyokan itu. Demikianlah Abu Dzar, sosok pria pemberani yang bila meyakini kebenaran sesuatu perkara, dia tidak akan peduli menyatakan keyakinannya di hadapan siapapun meskipun harus menghadapi resiko seberat apapun. Dan apa yang dihadapinya hari ini, tidak menciutkan nyalinya untuk mengulang proklamasi keimanannya di depan Ka’bah menantang para dedengkot kafir Quraisy. Keesokan harinya dia mengulangi proklamasi keimanan yang penuh keberanian itu, dan teriakan syahadatainnya menimbulkan kembali berangnya para tokoh kafir Quraisy. Sehingga mereka memerintahkan untuk mengeroyok seorang Abu Dzar untuk kedua kalinya. Dan untuk kedua kalinya ini, Al Abbas berteriak lagi seperti kemarin dan Abu Dzarpun dilepaskan oleh masa yang sedang mengamuk itu dalam keadaan babak belur bersimbah darah seperti kemaren.

Setelah dia puas membikin marah orang-orang kafir Quraisy dengan proklamasi masuk Islamnya, meskipun dia harus beresiko hampir mati dikeroyok masa. Barulah dia bersemangat melaksanakan wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam untuk pulang ke kampungnya di kampung Bani Ghifar. Abu Dzar pulang ke kampungnya, dan di sana dia rajin menda’wahi keluarganya. Unais Al Ghifari, adik kandungnya, telah masuk Islam, kemudian disusul ibu kandungnya yang bernama Ramlah bintu Al Waqi’ah Al Ghifariah juga masuk Islam. Sehingga separoh Bani Ghifar telah masuk Islam. Adapun separoh yang lainnya, telah menyatakan bahwa bila Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam telah hijrah ke Madinah maka mereka akan masuk Islam. Maka segera saja mereka berbondong-bondong masuk Islam setelah sampainya berita di kampung mereka bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam telah hijrah ke Al Madinah An Nabawiyah.


Hijrah Ke Al Madinah :

Dengan telah masuk Islamnya seluruh kampung Bani Ghifar, dan setelah peperangan Bader dan Uhud dan Khandaq, Abu Dzar bergegas menyiapkan dirinya untuk berhijrah ke Al Madinah dan langsung menemui Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam di masjid beliau. Dan sejak itu Abu Dzar berkhidmat melayani berbagai kepentingan pribadi dan keluarga Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia tinggal di Masjid Nabi dan selalu mengawal dan mendampingi Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kemanapun beliau berjalan. Sehingga Abu Dzar banyak menimba ilmu dari Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Sehingga Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam sangat mencintainya dan selalu mencari Abu dzar di setiap majlis beliau dan beliau menyesal bila di satu majlis, Abu Dzar tidak hadir padanya. Sehingga beliau menanyakan, mengapa dia tidak hadir dan ada halangan apa.

Begitu dekatnya Abu Dzar dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dan begitu sayangnya beliau kepada Abu Dzar, sehingga disuatu hari pernah Abu Dzar meminta jabatan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Maka beliau langsung menasehatinya :

(tulis hadisnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad 3 / 164)

“Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu adalah amanah, dan sesungguhnya jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi orang yang menerima jabatan itu, kecuali orang yang mengambil jabatan itu dengan cara yang benar dan dia menunaikan amanah jabatan itu dengan benar pula”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya.

Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam pernah berpesan kepadanya :

(tulis haditsnya di kitab Hilyatul Auliya’ 1 / 162)

“Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang shaleh, sungguh engkau akan ditimpa berbagai mala petaka sepeninggalku”. Maka Abu Dzarpun bertanya : Apakah musibah itu sebagai ujian di jalan Allah ?”, Rasulullahpun menjawab : “Ya, di jalan Allah”. Dengan penuh semangat Abu Dzarpun menyatakan : “Selamat datang wahai mala petaka yang Allah taqdirkan”. HR. Abu Nu’aim Al Asfahani dalam kitab Al Hilyah jilid 1 hal. 162.

Asma’ bintu Yazid bin As Sakan menceritakan, bahwa di suatu hari Abu Dzar setelah menjalankan tugas kesehariannya melayani Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dia beristirahat di masjid, dan memang tempat tinggalnya di masjid. Maka masuklah Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam ke masjid dan mendapati Abu Dzar dalam keadaan sedang tiduran padanya. Maka Rasulullah meremas jari jemari telapak kakinya dengan telapak kaki beliau, sehingga Abu Dzarpun duduk dengan sempurna. Rasulullah menanyainya : Tidakkah aku melihat engkau tidur ?. Maka dia menjawab : Dimana lagi aku bisa tidur, apakah ada rumah bagiku selain masjid ? Maka Rasulullahpun duduk bersamanya, kemudian beliau bertanya kepadanya : Apa yang akan engkau lakukan bila engkau diusir dari masjid ini ?. Abu Dzar menjawabnya : Aku akan pindah ke negeri Syam, karena Syam adalah negeri tempat hijrah, dan negeri hari kebangkitan di padang mahsyar, dan negeri para Nabi, sehingga aku akan menjadi penduduk negeri itu. Kemudian Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bertanya lagi kepadanya : Bagaimana pula bila engkau diusir dari negeri Syam ? Maka Abu Dzar menjawab : Aku akan kembali ke Masjid ini dan akan aku jadikan masjid ini sebagai rumahku dan tempat tinggalku. Kemudian Nabi bertanya lagi : Bagaimana kalau engkau diusir lagi dari padanya ? Abu Dzar menjawab : Kalau begitu aku akan mengambil pedangku dan aku akan memerangi pihak yang mengusirku sehingga aku mati. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tersenyum kecut mendengar jawaban Abu Dzar itu dan beliau menyatakan kepadanya : Maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih baik darinya ? Segera saja Abu Dzar menyatakan : Tentu, demi bapakku dan ibuku wahai Rasulullah. Maka beliaupun menyatakan kepadanya : “Engkau ikuti penguasamu, kemana saja dia perintahkan kamu, engkau pergi kemana saja engkau digiring oleh penguasamu, sehingga engkau menjumpaiku (yakni menjumpaiku di alam qubur) dalam keadaan mentaati penguasamu itu”. HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 6 hal. 457.

Disamping berbagai wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tersebut, dirwayatkan pula pujian dari Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepada Abu Dzar sebagai berikut ini :

(tulis haditsnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad jilid 3 hal. 161).

“Tidak ada makhluq yang berbicara di kolong langit yang biru dan yang dipikul oleh bumi, yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya jilid 3 hal 161, juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Sunannya, hadits ke 3801 dari Abdullah bin Amer radhiyallahu ‘anhuma.

Abu Dzar berjuang sendirian :

Setelah wafatnya Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, Abu Dzar cenderung menyendiri. Tampak benar kesedihan pada wajahnya. Dia adalah orang yang keras, tegas, pemberani, dan sangat kuat berpegang dengan segenap ajaran Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam disamping kebenciannya kepada segala bentuk kebid’ahan (yakni segala penyimpangan dari ajaran Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam). Dia adalah orang yang penyayang terhadap orang-orang lemah dari kalangan faqir dan miskin. Karena dia terus-menerus berpegang dengan wasiat Nabi sebagaimana yang beliau ceritakan : (artinya) “Telah berwasiat kepadaku orang yang amat aku cintai (Yakni Rsaulullah) dengan tujuh perkara : Beliau memerintahkan aku untuk mencintai orang-orang miskin dan mendekati mereka, dan beliau memerintahkan aku untuk selalu melihat keadaan orang yang lebih menderita dariku. Beliau memerintahkan kepadaku juga untuk aku tidak meminta kepada seseorangpun untuk mendapatkan keperluanku sedikitpun, dan aku diperintahkan untuk tetap menyambung silaturrahmi walaupun karib kerabatku itu memboikot aku. Demikian pula aku diperintahkan untuk mengucapkan kebenaran walaupun serasa pahit untuk diucapkan, dan aku tidak boleh takut cercaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Aku dibimbing olehnya untuk selalu mengucapkan la haula wala quwwata illa billah (yakni tidak ada daya upaya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan bantuan Allah), karena kalimat ini adalah simpanan perbendaharaan yang diletakkan di bawah Arsy Allah”. HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 5 hal. 159.

Abu Dzar mempunyai pendapat yang dirasa ganjil oleh banyak orang yang hidup di zamannya, tetapi mereka tidak bisa membantahnya. Diriwayatkan oleh Al Ahnaf bin Qais sebuah kejadian yang menunjukkan betapa berbedanya Abu Dzar dari yang lainnya, kata Al Ahnaf : “Aku pernah masuk kota Al Madinah di suatu hari. Ketika itu aku sedang duduk di suatu halaqah (ya’ni duduk bergerombol dengan formasi duduknya melingkar) dengan orang-orang Quraisy. Tiba-tiba datanglah ke halaqah itu seorang pria yang compang camping bajunya, badannya kurus kering, dan wajahnya menunjukkan kesengsaraan hidup, dan orang inipun berdiri di hadapan mereka seraya berkata : Beri kabar gembira bagi orang-orang yang menyimpan kelebihan hartanya, dengan ancaman adzab Allah berupa dihimpit batu yang amat panas karena batu itu dibakar diatas api, dan batu itupun diletakkan di dadanya sehingga sampai tenggelam padanya sehingga batu panas itu keluar dari pundaknya. Dan juga diletakkan batu panas itu di tulang pundaknya sehingga keluar di dadanya, demikian terus sehingga batu panas itu naik turun antara dada dan tulang pundaknya.

Mendengar omongan orang ini, hadirin yang ada di halaqah itu menundukkan kepalanya. Maka aku melihat, tidak ada seorangpun yang menyapanya dari hadirin yang duduk di halaqah itu. Sehingga orang itupun segera meninggalkan halaqah tersebut dan duduk menjauh daripadanya . Maka akupun bertanya kepada yang hadir di halaqah itu : Siapakah dia ini ?, mereka menjawab : Dia adalah Abu Dzar.

Demi aku melihat keadaan demikian, akupun mendatangi tempat dia duduk menyendiri dan akupun duduk dihadapannya dan aku katakan kepadanya : Aku melihat, mereka yang duduk di halaqah itu tidak suka dengan apa yang engkau ucapkan.

Abu Dzarpun menyatakan : Mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengerti sama sekali. Sesungguhnya kekasihku Abul Qasim (yakni Nabi Muhammad) sallallahu alaihi wa aalihi wasallam pernah memanggil aku dan akupun segera memenuhi panggilan beliau. Maka beliaupun menyatakan kepadaku : Engkau lihat gunung Uhud itu ?!.

Aku melihat gunung itu dalam keadaan diterpa oleh sinar matahari pada punggungnya, dan aku menyangka beliau akan menyuruh aku untuk suatu keperluan padanya. Maka aku menjawab pertanyaan beliau : Aku melihatnya.

Kemudian beliaupun bersabda : Tidaklah akan menyenangkan aku kalau seandainya aku punya emas sebesar itu, kecuali bila aku shodaqahkan semuanya sehingga tidak tersisa daripadanya kecuali tiga dinar (untuk keperluanku).

Selanjutnya Abu Dzar menyatakan : Tetapi kemudian mereka itu kenyataannya selalu mengumpulkan dunia, mereka tidak mengerti sama sekali.

Aku katakan kepadanya : Ada apa antara engkau dengan saudara-saudarmu dari kalangan orang-orang Quraisy. Mengapa engkau tidak minta bantuan dari mereka sehingga engkau mendapatkan sebagian harta mereka.

Abu Dzar menjawab dengan tegas dan lantang : Tidak ! Demi Tuhanmu, aku tidak akan meminta dunia sedikitpun kepada mereka dan aku tidak akan minta fatwa dari mereka tentang agama, sehingga aku mati bergabung dengan Allah dan RasulNya”.

Demikian diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 1407 – 1408 dan Muslim dalam Shahihnya hadits ke 992 / 34 – 35.

Abu Dzar sangat keras dengan pendiriannya. Dia berpendapat bahwa menyimpan harta yang lebih dari keperluannya itu adalah haram. Sedangkan keumuman para Shahabat Nabi berpendapat, bahwa boleh menyimpan harta dengan syarat bahwa harta itu telah dizakati (yakni dikeluarkan zakatnya). Bahkan Abu Dzar menjauh dari para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam yang mulai makmur hidupnya karena menjabat jabatan di pemerintahan. Hal ini diceritakan oleh Abu Buraidah sebagai berikut :

“Ketika Abu Musa Al Asy’ari datang ke Madinah, dia langsung menemui Abu Dzar. Maka Abu Musa berusa merangkul Abu Dzar, padahal Abu Musa adalah seorang pria yang kurus dan pendek. Sedangkan Abu Dzar adalah seorang pria yang hitam kulitnya dan lebat rambutnya. Maka ketika Abu Musa berusaha merangkulnya, dia mengatakan : Menjauhlah engkau dariku !!

Abu Musa mengatakan kepadanya : Marhaban wahai saudaraku.

Abu Dzarpun menyatakan kepadanya sambil mendorongnya untuk menjauh darinya : “Aku bukan saudaramu, dulu memang aku saudaramu sebelum engkau menjabat jabatan di pemerintahan”.

Selanjutnya Abu Buraidah menceritakan : Kemudian setelah itu datanglah Abu Hurairah menemuinya. Juga Abu Hurairah berusaha merangkulnya dan menyatakan kepadanya : Marhaban wahai saudaraku.

Abu Dzar menyatakan kepadanya : Menjauhlah engkau dariku, apakah engkau menjabat satu jabatan dalam pemerintahan ?

Abu Hurairah menjawab : Ya, aku menjabat jabatan dalam pemerintahan.

Abu Dzar selanjutnya menanyainya : Apakah engkau berlomba-lomba membangun bangunan yang tinggi, atau membikin tanah pertanian, atau hewan piaraan ?

Abu Hurairah menjawab : Tidak.

Maka Abu Dzarpun menyatakan kepadanya : Kalau begitu engkau saudaraku, engkau saudaraku”. Demikian diriwayatkan kisah ini oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya jilid 3 halaman 163.

Sikap Abu Dzar yang demikian keras, karena amat kuat berpegang dengan wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepadanya :

(tulis haditsnya dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad jilid 3 hal. 162)

“Orang yang paling dekat diantara kalian dariku di hari kiamat, adalah yang keadaan hidupnya ketika meninggal dunia, seperti keadaannya ketika aku meninggalkannya untuk mati”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya jilid 3 hal. 162.

Abu Dzar keadaannya ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam meninggal dunia, ialah sangat melarat. Dia ingin mempertahankan kondisi melarat itu ketika dia meninggal dunia nanti, karena ingin mendapatkan posisi yang paling dekat dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam di hari kiamat kelak.

Meninggal dunia di tempat pengasingan :

Dengan sikap hidup yang demikian, Abu Dzar tidak punya teman dari kalangan sesama para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia pernah tinggal di negeri Syam di zaman pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Waktu itu gubernur negeri Syam adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu. Maka Mu’awiyah merasa terganggu dengan sikap hidupnya, sehingga meminta kepada Amirul Mu’minin Utsman bin Affan untuk memanggilnya ke Madinah kembali. Abu Dzar akhirnya dipanggil kembali ke Madinah oleh Utsman dan tentu dia segera menta’ati panggilan itu. Sesampainya di Madinah segera saja Abu Dzar menghadap Amirul Mu’minin Utsman bin Affan. Abu Dzar diberi tahu oleh Amirul Mu’minin bahwa dia dikehendaki untuk tinggal di Madinah menjadi orang dekatnya Amirul Mu’minin Utsman. Mendengar penjelasan itu Abu Dzar menegaskan kepada beliau : “Wahai Amirul Mu’minin, aku tidak senang dengan posisi demikian. Izinkanlah aku untuk tinggal di daerah perbukitan Rabadzah di luar kota Madinah”.

Maka Amirul Mu’mininpun mengizinkannya dan memerintahkan untuk membekali Abu Dzar dengan beberapa ekor ternak dan budak belian untuk membantunya. Tetapi Abu Dzar menolaknya dengan menyatakan kepada beliau : “Cukuplah bagi Abu Dzar, beberapa ekor ternak miliknya sendiri”.

Abu Dzar segera berangkat ke Rabadzah, dan di perbukitan tersebut tidak ada manusia yang tinggal di sana. Dia ingin mengasingkan diri di sana, demi melihat kebanyakan orang merasa terganggu dengan berbagai ungkapannya dan pendapatnya. Dia tinggal di tempat pengasingannya dengan anak perempuannya dan budak wanita miliknya yang hitam dan jelek rupa. Budak wanita itu dibebaskannya kemudian dinikahinya sebagai istri. Abu Dzar menghabiskan waktunya untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an. Sesekali dia turun ke Madinah karena takut tergolong orang yang kembali menjadi badui setelah hijrah. Yang demikian itu dilarang oleh Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam.

Di suatu hari ketika Abu Dzar turun ke Al Madinah, sempat dia berkunjung ke Amirul Mu’minin dan di sana ada Ka’ab dan Abdullah bin Abbas sedang membicarakan tentang dibagi-baginya harta warisan Abdurrahman bi A’uf. Maka Amirul Mu’minin bertanya kepada Ka’ab : Wahai Aba Ishaq, bagaimana menurut pendapatmu bila harta seseorang itu yang telah ditunaikan zakatnya, apakah akan menjadi mala petaka bagi yang mengumpulkannya. Maka Ka’ab menjawab : Bila harta itu adalah kelebihan dari harta yang telah ditunaikan padanya haqnya Allah (yakni zakat), maka yang demikian itu tidak mengapa.

Mendengar jawaban itu Abu Dzar bangun dari tempat duduknya dan langsung memukul Ka’ab dengan tongkatnya pada bagian diantara kedua telinganya sehingga melukainya. Abu Dzar menyatakan kepada Ka’ab : Wahai anaknya perempuan Yahudi, kamu menganggap tidak ada kewajiban atasnya dalam perkara hartanya bila dia telah menunaikan zakat atas hartanya. Sedangkan Allah telah berfirman : (artinya)”Dan mereka lebih mengutamakan saudaranya dari pada dirinya walaupun menyulitkan dirinya”. S. Al Hasyr 9, juga Allah berfirman : (artinya)”Mereka kaum Mu’minin itu memberi makan kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”. S. Ad Daher (dinamakan juga S. Al Insan) ayat ke 8. Dan beberapa ayat lainnya dari Al Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat tersebut, yang merupakan dalil-dalil bagi Abu Dzar atas pendapatnya bahwa seseorang itu dianggap belum menunaikan kewajibannya atas hartanya bila dia belum menghabiskannya untuk shadaqah, kecuali meninggalkannya untuk keperluan mendesak bagi keluarganya.

Melihat kejadian itu, Amirul Mu’minin segera menegur Abu Dzar : “Takutlah engkau kepada Allah wahai Aba Dzar, tahanlah tanganmu dari perbuatan itu dan tahanlah lesanmu untuk mengucapkan ucapan sekeras itu kepada saudaramu”. Juga Amirul Mu’minin meminta kepada Ka’ab untuk memaafkan Abu Dzar dan tidak menuntut hukum qishas (yakni hukum balas) atas Abu Dzar dengan tindakannya melukai kepala beliau. Dan Ka’abpun akhirnya memaafkannya.

Abu Dzar kembali ketempat pengasingannya di Rabadzah dengan penuh kekecewaan dan kemarahan. Dia semakin senang untuk menyendiri dan semakin rindu untuk bertemu Allah dan RasulNya. Sampailah akhirnya dia menderita sakit ditempat pengasingannya. Dia hanya ditemani oleh anak istrinya di saat-saat akhir hidupnya. Tidak ada orang yang tahu bahwa Abu Dzar sedang sakit dan menderita dengan sakitnya. Bertambah hari tampak bertambah berat penyakit yang dideritanya. Dalam kondisi demikian, istrinya menangis dihadapannya. Abu Dzar menegurnya : “Mengapa engkau menangis ?”.

Istrinya menjawab : “Aku menangis karena engkau pasti akan tiada lagi, dalam keadaan aku tidak punya kain kafan untuk membungkus jenazahmu”.

Maka Abu Dzar menasehati istrinya : “Jangan engkau menangis, karena aku telah pernah mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bersabda di suatu hari dan aku ada di samping beliau bersama sekelompok orang yang lainnya. Beliau bersabda : “Sungguh salah seorang dari kalian akan meninggal dunia di padang pasir yang akan disaksikan oleh sekelompok kaum Mu’minin”.

Kemudian Abu Dzar melanjutkan nasehatnya kepada istrinya : “Ketahuilah olehmu, semua orang yang hadir bersama aku waktu itu di hadapan Rasulullah, telah mati semua di kampung dan desanya. Dan tidak tertinggal di dunia ini dari yang hadir itu kecuali aku. Maka sudah pasti yang akan mati di padang pasir seperti yang dikabarkan oleh beliau itu adalah aku. Oleh karena itu sekarang engkau lihatlah ke jalan. Engkau pasti nanti akan melihat apa yang aku katakan. Aku tidaklah berdusta dan aku tidak didustai dengan berita ini (yakni pasti engkau akan mendapati sekelompok orang yang akan menyaksikan peristiwa kematianku seperti yang diberitakan oleh Rasulullah)”.

Istrinya menyatakan kepadanya : “Bagaimana mungkin akan ada orang yang engkau katakan, sedang musim haji telah lewat ?!”.

Abu Dzar tetap meyakinkan istrinya untuk melihat ke arah jalan : “Lihatlah jalan !”. Maka istrinya menuruti beliau mengamati jalanan yang ada didepan Rabadzah. Dan ternyata, ketika si istri sedang mengamati jalan di depan Rabadzah, apakah ada rombongan yang berlalu padanya, tiba-tiba dilihat olehnya dari kejauhan serombongan kafilah sedang mendekat ke arah Rabadhah yang menandakan bahwa mereka akan melewati jalan di depan Rabadzah. Amat gembira tentunya istri Abu Dzar melihatnya, sehingga rombongan itupun berhenti didepannya. Orang-orang di rombongan itupun menanyainya : Ada apa engkau ada di sini ? Maka perempuan itupun menyatakan kepada mereka : “Di sini ada seorang pria Muslim yang hendak mati, hendaknya kalian mengkafaninya, semoga Allah membalas kalian dengan pahalaNya”. Maka merekapun menanyainya : “Siapakah dia ?” Perempuan itu menjawab : “Dia adalah Abu Dzar”. Mendengar jawaban itu mereka berlarian turun dari kendaraannya masing-masing menuju gubuknya Abu Dzar. Dan ketika mereka sampai di gubuk itu, mereka mendapati Abu Dzar sedang terkulai lemas di atas tempat tidurnya. Tapi masih sempat juga Abu Dzar memberi tahu mereka : “Bergembiralah kalian, karena kalianlah yang diberitakan Nabi sebagai sekelompok kaum Mu’minin yang menyaksikan saat kematian Abu Dzar”. Kemudian Abu Dzar menyatakan kepada mereka : “Kalian menyaksikan bagaimana keadaanku hari ini. Seandainya jubbahku mencukupi sebagai kafanku, niscaya aku tidak dikafani kecuali dengannya. Aku memohon kepada kalian dengan nama Allah, hendaklah janganlah ada yang mengkafani jenazahku nanti seorangpun dari kalian, orang yang pernah menjabat sebagai pejabat pemerintah, atau tokoh masyarakat, atau utusan pemerintah untuk satu urusan”.

Semua anggauta rombongan itu adalah orang-orang yang pernah menjabat berbagai kedudukan itu, kecuali seorang pemuda Anshar, yang menyatakan kepadanya : “Aku adalah orang yang engkau cari dengan persyaratan itu. Aku mempunyai dua jubbah dari hasil pintalan ibuku. Satu dari padanya ada di kantong tas bajuku, sedang yang lainnya ialah baju yang sedang aku pakai ini”.

Mendengar omongan pemuda Anshar itu Abu Dzar amat gembira, kemudian dengan serta merta menyatakan kepadanya : “Engkaulah orang yang aku minta mengkafani jenazahku nanti dengan jubbahmu itu”.

Dengan penuh kegembiraan, Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya, dan selamat tinggal dunia yang penuh duka dan nestapa ini. Selamat jalan wahai Abu Dzar untuk menemui Allah dan RasulNya yang amat engkau rindukan. Beristirahatlah engkau di sana dari berbagai penderitaan dunia ini. Jenazah Abu Dzar dirawat oleh pemuda Anshar pilihan Abu Dzar, dan segera dishalati serta dikuburkan oleh rombongan kafilah tersebut di Rabadzah itu.

P e n u t u p :

Anak istri Abu Dzar akhirnya diungsikan dari Rabadzah ke Madinah sepeninggalnya. Amirul Mu’minin Utsman bin Affan amat pilu mendengar peristiwa kematian Abu Dzar. Beliau hanya mampu menanggapi berita kematian itu dengan mengucapkan : “Semoga Allah merahmati Abu Dzar”. Putri Abu Dzar dimasukkan oleh Utsman bin Affan dalam keluarganya.

Demikianlah perjalanan hidup orang yang sangat besar ambisinya kepada kenikmatan hidup di akherat dan amat mengecilkan serta merendahkan dunia. Dia amat konsisten dengan pandangan hidupnya, sampaipun dibawa mati. Memang tidak mesti orang yang sendirian itu dianggap salah, asalkan dia menjalani kesendirian itu dengan bimbingan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman Salafus Shaleh.

Duhai, betapa berat untuk istiqamah di atas kebenaran itu. Di zaman pemerintahan Utsman bin Affan yang penuh limpahan barokah dan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah serta masyarakat yang diliputi oleh kejujuran dan ketaqwaan, sempat ada orang yang kecewa dengan masyarakat itu, sehingga memilih hidup menyendiri sampai dijemput mati. Apatah lagi di zaman ini, masyarakat diliputi oleh kejahilan tentang ilmu Al Qur’an dan Al Hadits. Masyarakat yang jauh dari ketaqwaan, sehingga para pendustanya amat dipercaya dan diikuti, sedangkan orang-orang yang jujur justru dianggap pendusta dan dijauhi. Kalaulah tidak karena pertolongan, petunjuk dan bimbingan Allah, niscaya kita semua di zaman ini akan binasa dengan kesesatan, kedustaan dan pengkhianatan serta fitnah yang mendominasi hidup ini. Tapi ampunan dan rahmat Allah jualah yang kita harapkan untuk mengantarkan kita kepada keridho’anNya.

Daftar Pustaka :

1. Al Qur’an Al Karim.
2. Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajr Al Asqalani.
3. Al Minhaj Fi Syarah Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Al Imam Abu Zakaria An Nawawi.
4. At Thabaqatul Kubra, Muhammad bin Sa’ad.
5. Hilyatul Awliya’ Wa Thabaqatul Ashfiya’, Al Hafidl Abu Nu’aim Al Asfahani.
6 . Siyar A’lamin Nubala’, Al Imam Adz Dzahabi.
7. Musnad Imam Ahmad, Al Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani.
8. Sunan At Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah At tirmidzi.
 

like this

Abubakar r.a. berkata, "iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik , orang yang beriman itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan iman itu lebih susah dari meniti sehelai rambut". Umar r.a. berkata, "kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik , seorang raja itu lebih manis dari madu, dan memerintah dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut". Utsman r.a. berkata, "ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik , orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu, dan ber'amal dengan ilmu yang dimiliki itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut". 'Ali r.a. berkata, "tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik , menjamu tamu itu lebih manis dari madu, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumanya adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut". Fatimah r.ha.berkata, "seorang wanita itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, wanita yang ber-purdah itu lebih manis dari madu, dan mendapatkan seorang wanita yangtak pernah dilihat orang lain kecuali mahramnya lebih sulit dari meniti sehelai rambut". Rasulullah SAW berkata, "seorang yang mendapat taufiq untuk ber'amal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, ber'amal dengan 'amal yang baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat 'amal dengan ikhlas adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut". Malaikat Jibril AS berkata, "menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, menyerahkan diri; harta; dan waktu untuk usaha agama lebih manis dari madu, dan mempertahankan usaha agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut". Allah SWT berfirman, " Sorga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu, nikmat sorga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju sorga-Ku adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut"

sharing ilmu islam Copyright © 2013 Template modification by Ikhwanul fikri