Showing posts with label kajian. Show all posts
Showing posts with label kajian. Show all posts

Sunday, 7 July 2013

janji allah tentang pertolongan dan kemenangan


Tsauban, seorang pelayan Rasulullah, berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda,

"Akan datang masanya semua bangsa dari berbagai penjuru mengepung kalian, sebagaimana orang-orang mengerumuni hidangan di meja makan..!!"
Tsauban berkata, Kami pun bertanya, "Apakah karena waktu itu jumlah kami sedikit ya, Rasulullah..??"
Beliau menjawab, "Ketika itu jumlah kalian banyak, tetapi kalian adalah buih, seperti buih di lautan. Rasa segan telah dicabut dari hati musuh-musuh kalian, dan dicampakkan penyakit wahn dalam hati-hati kalian..!!"
Tsauban berkata, Kamipun bertanya, "Apakah penyakit wahn tersebut..??"
Beliau menjawab, "Cinta dunia dan takut mati..."
(HR. Ahmad)

Sejak Runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah, seolah-olah Kekuatan Islam perlahan surut digilas perputaran roda zaman dimana tahta tersebut akhirnya berhasil dikuasai kaum kafir dan para antek-anteknya. Peristiwa ini seakan menyurutkan langkah-langkah sebagian besar umat Islam dan akhirnya memilih menegakkan izzah kehidupannya masing-masing. Namun ternyata tidak, terdapat sebagian kecil yang tetap berjuang dan optimis kekhilafahan akan kembali terwujud. Mereka yang termasuk thaifah manshuroh ini, senantiasa istiqomah dan bertekad membangkitkan Islam dengan kekuatannya. Mereka selalu meyakini bahwa Allah Ta'ala Sang pemilik Dien yang haq ini, akan mengerahkan pertolongan-Nya dalam menjaga kemuliaan Islam. Mereka pun menyadari bahwa sekedar berpangku-tangan dan menjadi bagian kelompok qo'idun, maka cita-cita besar dan mulia tersebut akan mungkin mampu diraih. Oleh karena itu, mereka tak hanya berbekal keyakinan semata, namun juga disertai ikhtiar dan ghiroh yang tak pernah padam, terutama dalam jihad fii sabilillah. Mereka amat mencintai Islam, sehingga dalam Islam mereka hidup, berjuang, dan berharap mati dalam kesyahidan "Isy kariman 'aumut syahidan..!!"

Allah Ta'ala berfirman,
"Orang-orang mukmin yang sebenarnya yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian tidak lagi ada keraguan dalam hatinya tentang keimanannya. Kemudian mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka untuk membela Islam. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman."
(QS. Al-Hujurat, 49: 15)

Dari Abu Musa al-Asy'ari ra, bahwa Rasulullah telah bersabda,
"Barangsiapa berperang demi menjunjung kalimat Allah setinggi mungkin, maka ia berada pada jalan Allah."
(HR. Muttafaqun'alaih)

Islam yang tegak akan syari'atnya, diciptakan Allah Ta'ala untuk semua makhluk-Nya. Ia merupakan fasilitas dalam meraih kemuliaan serta kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Hamba-hamba-Nya yang memiliki kesungguhan beriman kepada-Nya memilih menunda untuk bersenang-senang dan menikmati hingar-bingar dunia. Mereka hidup sewajarnya dengan meneladani Rasulullah dan para sholafush sholih. Sebab Islam diturunkan tidak untuk tujuan keduniaan, melainkan untuk menegakkan kalimatullah dan mencapai keridhoan-Nya. Dengan jihad, Allah Ta'ala hanya ingin memenangkan uluhiyah dan hukmiyah-Nya semata.

Dari Aidz bin Amr dan Al-Muzani ra, bahwa telah bersabda Rasulullah,
"Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengungguli ketinggiannya."
(HR. Ad-Daruquthni)

Mengabaikan syari'at Islam dan menekuni kezhaliman merupakan benih-benih pengundang bencana dan laknat Allah Ta'ala. Untuk itu perlu bersegera membasmi segala pengundang datangnya bencana Allah azza waa jalla.

Allah Ta'ala berfirman,
"Wahai Manusia, bencana apa saja yang menimpa diri kalian, maka bencana itu adalah hasil kerja tangan-tangan kalian. Namun demikian amat banyak kesalahan-kesalahan kalian yang dimaafkan oleh Allah."
(QS. asy-Syu'ara, 42: 30)

Jika umat Islam mau sungguh-sungguh berkomitmen menerapkan semua hal yang disyari'atkan Allah Ta'ala serta bersungguh-sungguh mengamalkannya secara kaaffah, maka kemenangan dan kejayaan Islam insyaa Allah akan segera terwujud nyata. Allah Ta'ala bahkan telah menjanjikan kemenangan bagi hamba-hamba-Nya yang memiliki ketundukkan kepada-Nya,

"Wahai kaum mukmin, perangilah kaum kafir yang memerangi kalian. Allah akan menghancurkan kekuatan mental kaum kafir dengan tangan-tangan kalian, menghinakan mereka, memenangkan kalian atas mereka, dan menyenangkan hati kaum yang beriman."
(QS. at-Taubah, 9:14)

5 Keutamaan Membaca Alquran


Assalamu'alaikum Para Pecinta Quran

Alquran Al-Karim adalah pedoman hidup umat manusia, walaupun yang mengambil manfaat hanyalah orang-orang yang bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 2). Begitu banyak hikmah dari memperbanyak membaca Alquran.

(1)Pertama, mendapatkan pahala yang sangat banyak, di mana satu huruf diberi balasan dengan sepuluh kebajikan, sebagaimana diriwayatkan oleh Iman At-Tirmidzi dalam sebuah hadits Rasulullah SAW.

(2)Kedua, Allah SWT akan mengangkat derajat orang-orang selalu membaca Alquran, mempelajari isi kandungannya dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan Kitab Alquran dan Allah merendahkan kaum yang lainnya (yang tidak mau membaca, mempelajari dan mengamalkan Alquran).”
(HR Bukhari).

(3)Ketiga, mendapatkan ketengan jiwa atau hati yang sangat luar biasa, di mana setiap ayat Alquran yang dibacanya akan mendatangkan ketenangan dan ketentraman bagi para pembacanya. Sebagaimana diterangkan dalam surah Al-Isra [17] ayat 82, Alquran diturunkan Allah SWT untuk menjadi obat segala macam penyakit kejiwaan. Sehingga para pembaca Alquran, bahkan orang yang mendengarkan bacaannya mendapat pula ketenangan jiwa.

(4)Keempat, mendapatkan syafaat (pertolongan) pada hari Kiamat. Hal ini dijelaskan pada hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Muslim. “Bacalah Alquran oleh kamu sekalian, karena bacaan Alquran yang dibaca ketika hidup di dunia ini, akan menjadi syafaat/penolong bagi para pembacanya di hari Kiamat nanti.”
Maka perbanyaklah membaca Alquran ketika nafas masih menyertai kita dan denyut jantung masih bergerak, karena bacaan Alquran akan menjadi syafaat/penolong bagi para pembacanya di hari Kiamat nanti, dikala manusia banyak yang sengsara dan menderita.

(5)Kelima, akan terbebas dari aduan Rasulullah SAW pada hari Kiamat nanti, di mana ada beberapa manusia yang diadukan Rasulullah SAW pada hari Kiamat dihadapan Allah SWT.
Jadi, perbanyaklah membaca Alquran, luang waktu sisa-sisa kehidupan yang Allah berikan untuk memperdalam ajarannya. Jangan disia-siakan, karena Alquran akan mengantarkan kemudahan kita ketika menghadap Allah SWT (sakaratul maut).

Friday, 5 July 2013

Mencintai Tanpa Syarat


ALHAMDULILLAHI rabbil ‘alamin ‘alaa kulli haal. Segala puji bagi Allah Ta’ala dalam segala keadaan. Kepada-Nya kita kita memuji dengan pujian yang sempurna. Tiada tuhanselain Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya Dia yang layak untuk dipuji dan disembah dengan sepenuh penghambaan. Kepada Allah Ta’ala kita meminta pertolongan dan menyandarkan harapan.

Shalawat dan salam semoga tak habis-habis kita lantunkan untuk Rasulullah Muhammad shallaLlahu‘alaihi wa ‘alaa `alihi wa shahbihi wa sallam. Tiada kecintaan kepada Allah‘Azza wa Jalla kecuali dengan mentaati utusan-Nya, Muhammad Al-Amin yang menjadi penutup para nabi. Inilah risalah terakhir yang harus kita pegangi.Tidak ada yang lebih berharga untuk kita wariskan kepada anak-anak kita melebihi segenggam iman yang kita harapkan dengan sepenuh kesungguhan agar tumbuh berakar menguat dalam jiwa mereka.

Akan tetapi….

Tak seperti harta yang dengan sendirinya diwarisi, harus ada perjuangan agar iman itu tumbuh, berkembang, mengakar dan menguat dalam jiwa anak-anak kita sehingga mereka bersedia meneteskan keringat untuk menyemainya. Kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh agar mereka tak berpaling. Dan ini bukan soal kecerdasan. Betapa banyak orang yang memiliki pengetahuan luas, fasih berbicara bahasa Arab, tapi iman itu tak bersemayam dalam dirinya. Betapa banyak orang yang mengetahui dan bahkan memahami nash dengan sangat matang,tapi ia justru menjadi penentangnya yang paling lantang. Betapa banyak orang yang memiliki banyak hafalan, tapi sikap beragamanya justru plin-plan. Na’udzubillahi min dzaalik. Inilah pertanyaan besar yang perlu kita renungi senantiasa agar segenggam iman dalam jiwa anak kita tak terlepas dan berganti dengan keingkaran.

Telah berlalu dari zaman kita ini orang-orang yang cemerlang pengetahuannya, disegani kepakarannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan dihormati kepemimpinannya. Dan mereka justru meraih itu semua bermula dari keimanannya yang sangat kuat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Iman itu menggerakkan mereka untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya, termasuk belajar mendalami berbagi cabang pengetahuan. Mereka menjadi pribadi yang kuat karena mereka tidak menyandarkan harapan kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla semata. Tak sibuk meratapi masa lalu karena khawatir menjadi pintu masuknya setan untuk melemahkan jiwa dan imannya.

Ada yang perlu kita renungkan di sini. Jika iman benar-benar tumbuh, maka kesungguhan dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya adalah buah yang manis untuk dipetik. Ini sekaligus menandakan bahwa jika kesungguhan itu tidak hadir, ada yang perlu diperiksa atas iman mereka. Adakah mereka telah benar-benar beriman ataukah hanya memiliki banyak pengetahuan tentang iman. Sangat berbeda mengimani dengan memiliki pengetahuan tentang iman. Seorang yang beriman sudah sepatutnya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengilmui apa yang ia imani. Tetapi sekedar memiliki banyak pengetahuan tentang iman tak serta merta menjadikan diri beriman.

Nah, inilah yang perlu kita renungkan seraya mengingat bahwa sepeninggal kita nanti, di luar shadaqah jariyah dan ilmu yang manfaat, tak adalagi yang dapat kita harapkan manfaatnya selain anak-anak shalih yang mendo’akan. Artinya, pertama-pertama mereka harus menjadi pribadi yang shalih dulu, lalu bersebab keshalihannya mereka mendo’akan kita. Bisa saja anak mendo’akan kita setiap hari meskipun mereka tidak shalih. Tetapi apa manfaat yang dapat kita harap jika mereka mengerjakan apa-apa yang menjadi penghalang terkabulnya do’a? Maka, atas do’a anak-anak kita, yang pertama kali kita perlu risaukan adalah iman mereka; keshalihan mereka.

Jika anak-anak menjadi pribadi yang shalih bersebab upaya kita, apakah dengan mengajarkan agama ini secara langsung kepada mereka ataukah mengantarkan mereka meraih keshalihan melalui didikan guru-guru terbaik, maka atas setiap kebaikan yang mereka perbuat ada pahala yang mengalir untuk kita. Jadi, keshalihan itu pun telah berlimpah manfaatnya meskipun mereka belum mendo’akan kita. Apatah lagi jika mereka tak putus-putus berdo’a memohon kasih-sayang Allah ‘Azza wa Jalla bagi kita.

Tetapi apakah yang menjadikan mereka senantiasa berkeinginan untuk mendo’akan kita? Apakah yang membuat mereka senantiasa mengingat kita? Kedekatan emosi. Jika anak-anak itu tak pernah memiliki rasa rindu kepada kita, bagaimana kita berharap mereka akan senantiasa menyebut-nyebut nama kita dalam do’a mereka sesudah kita tiada? Saat hidup saja tak dirindukan. Apalagi jika nyawa telah tercabut dari badan. Masalahnya, sudahkah kita menyemai rasa rindu di hati anak-anak kita? Sudahkah kita memanfaatkan saat-saat berharga untuk anak kita dengan membersamai mereka dan hadir dalam kehidupan mereka secara bermakna? Inilah yang agaknya perlu kita periksa lebih dalam: saat berharga untuk anak kita. Apa maknanya bagi anak?

Apakah ini berarti kita tak perlu bersibuk mengembangkan potensi mereka? Sangat perlu. Hanya saja kita perlu mengingat bahwa itu semua seharusnya untuk menjadikan anak-anak kita semakin ringan hatinya menolong agama Allah ‘Azza wa Jalla. Kita perlu mencerdaskan anak dan melejitkan potensi mereka.

Apakah ini berarti kita tak perlu bersibuk melejitkan kecerdasan mereka? Sangat perlu. Tapi cerdas saja tidak cukup. Demikian pula cara untuk mengantarkan anak-anak meraih kecemerlangan tersebut amat perlu kita perhatikan. Jangan sampai ambisi kita menjadikan anak “tampak istimewa” justru menjadi sebab rapuhnya jiwa dan lemahnya iman bersebab kita mengejar yang instant, melupakan yang fundamental.

Lalainya kita dari memperhatikan hal-hal yang fundamental justru dapat menjatuhkan kita pada kesalahan yang berkepanjangan, penyesalan tak berkesudahan atau kesia-siaan yang besar, padahal kita telah berpayah-payah melakukannya. Atau justru karena tak mau berpayah-payah, kita mengabaikan yang berharga sekaligus amat bermanfaat untuk anak.

Inginnya anak jenius, tetapi cara instant yang kita tempuh ternyata tak memberi manfaat apa-apa. Musik Mozart salah satu contohnya. Banyak orang mempercayai mitos bahwa memperdengarkan musik Mozart kepada bayi akan menjadikannya jenius. Padahal tak ada riset yang mendukung. Yang ada justru membantah anggapan itu. Sudah ratusan ribu keeping CD Mozart terjual, sembari melupakan bahwa pada waktu kecil Mozart tak pernah mendengar musik Mozart, tetapi sampai hari ini tidak ada satu pun jenius yang terlahir darinya.

Sama halnya dengan bakat. Banyak yang berlebihan menilai bakat seolah ia menjadi penentu keberhasilan, seakan bakat dengan sendirinya menjadikan seseorang unggul. Orangtua sibuk mencari tahu bakat anak, tapi lupa melapangkan hati untuk mencintai tanpa syarat, meluangkan waktu untuknya dan menempanya agar memiliki kesungguhan serta tujuan hidup yang jelas. Kita lupa bagaimana para orangtua yang tak mengenal bakat dapat mengantarkan anak meraih kecemerlangan, bersebab penerimaan mereka apa adanya dan kesungguhannya mendidik anak. Di luar itu ada satu pertanyaan serius, bagaimana bakat itu melekat pada diri seseorang? Muncul dengan sendirinya?

Ada paradoks. Kita semakin banyak belajar tentang cara kerja otak, tapi di saat yang sama justru semakin enggan berpikir. Kita enggan menelaah, sehingga tak tahu mana yang ilmiah mana yang pseudo-ilmiah. Seakan ilmiah, padahal bukan.

Catatan ringan di buku ini ingin mengajak Anda semua untuk senantiasa menakar kembali langkah kita mengasuh anak, adakah ia menguatkan segenggam iman anak kita ataukah justru sebaliknya; iman tak semakin kokoh, sementara kecemerlangan yang kita harap pun tak teraih.

Kepada Allah Ta’ala saya memohon hidayah dan inayah-Nya. Kepada Allah Ta’ala kita memohon keselamatan bagi diri kita, keluarga kita dan keturunan kita seluruhnya. Kepada Allah Ta’ala kita memohon kebaikan dan kebahagiaan bagi kita, keluarga dan keturunan kita seluruhnya. Selebihnya, ingatkanlah saya dan berikanlah nasehat yang tulus. Apa yang benar pasti dari Allah ‘Azza wa Jalla. Dan apa yang salah sepenuhnya merupakan kejahilan dan kelalaian saya. Wallahu a’lam bish-shawab.*

Bila Syahwat Dunia Merasuki Juru Dakwah


Oleh: Shalih Hasyim

SETELAH berkesempatan melakukan muhibah dan beberapa kali tour dakwah ke daerah-daerah, dapatlah kami simpulkan mengapa kadangkala semangat dan dorongan dakwah seseorang mengendur. Di antaranya karena faktor internal (motivasi intrinstik, indifa’ dzati),fikrah (pemikiran), tashawwur (cara pandang),syu’ur (perasaan), dan ittijah wal wijhah(orientasi).

Sekalipun penilaian ini masih dibatasi subyektifitas pribadi, setidaknya, hampir rata-rata penyakit seperti ini dirasakan sosok/pribadi Muslim yang sedang berada di jalur dakwah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam pernah bersabda: “Nahnu nahkumu bizh Zhowahir wallahu yatawallas sarair.” (Kami dapat menghukumi dari sisi lahiriyah, sedangkan Allah Subhanahu Wata’alaSubhanahu Wata’ala mengetahui yang tersembunyi). (al Hadits).

Sungguh jika kami boleh bernostalgia saat itu, kita senang dengan kebaikan yang dikenali hati (makruf), kejujuran, keadilan, kebenaran dan kelapangan dada. Dan kita membenci kejelekan yang diingkari hati, kebohongan, kezaliman, kedengkian, kesempitan dada, kesombongan, egoisme, jiwa yang kerdil, dll. Karena fitrah kita adalah makhluk religius. Jika aspek itu kita singkirkan, kita akan mengalami kehampaan dan ketidak bermaknaan kehidupan. Bukankah dalam pengalaman kehidupan kita, tidak saja kita membutuhkan kebutuhan jasmani, pula kita memerlukan asupan ruhani. Bukankah akhir-akhir ini kita menyaksikan manusia yang tersiksa di puncak kesuksesan karir materinya?

Kasus seperti ini seperti pengalangan pasangan suami-istri di awal melewati masa-masa pertama.

“Istriku, mahan maaf, engkau bukan cinta pertama untukku. Engkau hanya cinta kedua.” Siapapun wanita mungkin tersinggung dengan ungkapan seperti ini. Paling tidak, akan menimbulkan perang mulut, membuat wajahnya juga pucat, kecewa dan cemberut.

Ia baru memahami, ketika kita jelaskan bahwa jalan dakwah adalah ‘cinta pertama’ sedang istri adalah ‘cinta kedua’. Penjelasan dan semua kesepahaman yang baru (susulan, red) harus kita klarifikasi terlebih dahulu dengan istri. Sekalipun kesepakatan yang baru itu menghasilkan keuntungan finansial yang cukup.

Fir’aun yang terkenal diktator saja, terbukti dalam sejarah, masih memiliki fitrah yang lurus dan benar.

وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْياً وَعَدْواً حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لا إِلِـهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak Menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS: Yunus [10]: 90-92)

Allah Subhanahu Wata’ala kemudian menjawabnya;

آلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ

“Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS: Yunus [10]: 91)

“Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan Sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami,” ujar Allah

Tsunami Akidah

Adapun karena dinamika, perkembangan (pasang surut, fluktuasi) personal, keluarga, masyarakat, organisasi dan tantangan eksternal kita, serta lingkungan strategis yang melingkupi kita, bahkan ketika mulai muncul perbedaan yang bersifat fariatif (ikhtilaf tanawwu’) ataupun perbedaan yang mengarah kepada ikhtilaf tadhad (kontra produktif), hal itu tergantung kultur (lingkungan sosial), struktur (kekuasaan yang dominan) dan pendekatan yang digunakan dalam merespon dan mengelola berkembangnya struktur kejiwaan (ruhani) manusia itu sendiri.

Realitas sosial kembali membuktikan, sekaligus menghentakkan kita bahwa lingkungan sosial yang dominan memproses kehidupan manusia modern adalah kultur sekuler (menceraikan manusia dari Rabb-nya) dan materilalisme (mencintai dunia secara berlebih-lebihan).

فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
كَلَّا بَل لَّا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ
وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلاً لَّمّاً
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبّاً جَمّاً

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku". Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku". Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS: Al Fajr [89]: 15-20)

Maksudnya ialah Allah Subhanahu Wata’alamenyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16. Tetapi sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya.

Ini juga dikuatkan dengan ayat Allah Subhanahu Wata’ala di Ali Imran 14.

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan ah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia (mata’), dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS: Ali Imran (3) : 14).

Bertolak dari sinilah cikal bakal (embrio) kelahiran perpecahan, ketidakadilan, kebohongan, dan perilaku negatif di luar standar kemanusiaan (dehumanisasi), yang menjadi tren sosial. Manusia memandang orang lain bukan sebagai mitra dan anugrah, tetapi ancaman yang membahayakan status quo dan rivalitas.

Fenomena ini pulalalah yang hinggap pada umat bahkan juga para juru dakwah.

Anak-anak didiikan materialisme ini terbelah kejiwaannya. Kelihatan sehat secara fisik, tetapi ruhaninya sakit. Batinnya menderita. Masyarakat sipil yang berwatak militer. Masyarakat modern yang berpola pikir primitif. Fasih berbicara dunia, tetapi bodoh tentang urusan akhirat. Otaknya cerdas, tetapi moralnya terpuruk.

Secara serimonial rajin melakukan ibadah ritual formal, tetapi miskin aplikasi. Mereka tekun berdoa di masjid, ketika keluar dari masjid melakukan perbuatan yang bertentangan dengan isi doanya. Mereka merasa sepi di dunia yang ramai, merasa gelap di dunia yang terang, merasa sempit di dunia yang terhampar luas. Semakin banyak ilmu, harta, posisi, tetapi tidak sebagai wasilatut taqarrub ilallah, tetapi sebagai wasilatut taba’ud ‘anillah.

Ini pulah yang menghinggapi para juru dakwah. Setelah puluhan tahun bersama-sama menapaki jalan dakwah yang terjal, ujungnya hanya pecah, saling menjatuhkan dan dengki antar sesame saudaranya hanya karena urusan dunia.

Karenanya, jika tidak dikembalikan pada wahyu, tugas kenabian yang kita warisi ini hanya akan menjauhkan hati-hati yang lurus itu menjadi semakin jauh dan rusak. Maka, jika ada perselisihan di antara para juru dakwah, kembalikanlah semua pada al-Quran dan niat pertama kali kita berada di jalan dakwah.

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَاراً

“Dan Kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS:Al Isra (17) : 82).

Dalam mewarisi tugas kerasulan ini ada beban berat yang harus dipikul sebagai konsekwensi pewaris nubuwwah (pejuang). Dan predikat sebagi pelanjut dan penerus perjuangan para Nabiyyullah perlu dipahami dan disadari dengan baik. Sebab, seringkali orang yang mengklaim dirinya sebagai pejuang dakwah, namun pola pikir, perasaan, dan perilakunya tidak mencerminkan sosok qurani. Dirinya tidak lagi sebagai alat peraga al-Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam yang berjalan di dunia realita. Al-Quran tidak akan berbicara, karena hanya berupa tulisan, tetapi yang melantangkannya adalah lelaki qurani (al-Quran laa yanthiqu walakin yunthiquhur rijal).

Orang yang terinveksi dengan kelemahan jiwa, sehingga menyediakan diri untuk dijajah peradaban materialisme (qabiliyyatun littaghallub), perlu lebih meningkatkan daya serap, daya analisa, dan daya cipta terhadap kitab suci, bukan sekedar konstitusi. Agar tumbuh energi dan gelora perjuangan yang baru bagaikan bumi yang gersang, kering kerontang, tandus, kemudian disiram dengan air hujan yang deras. Sehingga tanah tersebut menjadi hidup dan subur untuk ditanami .

Kembali pada Wahyu


Kesadaran untuk menegakkan pandangan hidup dan ideologi (keyakinan) adalah fitrah dasar manusia. Sebab, naluri keagamaan (gharizah tadayyun) adalah sesuatu yang mutlak diperlukan dalam menikmati dan memaknai kehidupan itu sendiri. Kehidupan ini akan membuat pemburunya kecewa jika tidak ditemani oleh keyakinan (aqidah). Manusia akan mengorbankan semua fasilitas kehidupan yang dimilikinya (wasilatul hayah), bahkan tetesan darah sekalipun untuk menegakkan ideologi.

Mengurus dan memperjuangkan agama adalah nilai paling tinggi dalam level keimanan. Karena mewarisi tugas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Seorang pelanjut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam menjadikan jihad sebagai jalan kehidupannya (al Jihadu sabiluna). Persoalan-persoalan aktual, kondisi masyarakat yang rusak, bahkan negara yang tidak menentu, tidak menjadi kendala (batu sandungan) bagi kelincahan gerakannya. Inilah salah satu indikator seorang pejuang yang benar orientasi dan cara pandangnya terhadap wahyu Allah Subhanahu Wata’ala. Terjadi garis demarkasi antara kehidupan lalu yang belum berwahyu dan kehidupan sekarang yang telah berwahyu.

Oleh karena itu, pentingnya manusia kembali melakukan penataan ulang pola pikir dan orientasi (rekonstruksi dan reorientasi) terhadap wahyu Al-Quran. Dimulai dengan membangun landasan pola pikir qurani. Sebab, dalam proses turunnya Al-Quran terjadi pencerahan dan penyadaran. Wahyu ini apabila diserap, dianalisa secara terus-menerus hingga terinternalisasi ke dalam jiwa, akan melahirkan daya cipta dan daya gerak. Gerakan yang melahirkan amal shalih (karya). Inilah yang paling mahal dimiliki oleh manusia. Kualitas kita ditentukan oleh iman dan amal shalih kita. Amal shalih yang tidak berpijak dari keimanan, sama jeleknya dengan iman yang tidak membuahkan amal shalih.

Nilai-nilai idealisme, perjuangan, sebagai tafsir dan implementasi dari interaksi kita yang intensif dengan Al-Quran jangan sampai selesai pada generasi level pertama. Kita harus memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai immaterial ini kepada generasi pelanjut kita. Agar jangan sampai terjadi, mereka menuding telunjuk kegagalan pendahulunya dalam mentransformasikan (mewariskan) nilai yang amat mahal ini.

Memang, mewariskan nilai-nilai perjuangan ini berat dipikul secara pisik dan berat pula di ruhani.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat [tugas-tugas keagamaan] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.” (QS: Al Ahzab [33]: 72).



Bagi yang sudah tercerahkan akan pilihan dan penunjukan Allah di atas terhadap dirinya untuk memikul amanah perjuangan, sejatinya ia selalu memelihara dan menegakkannya. Sebab, kelak akan dimintai pertanggungjawaban kepada Allahpara Rasul-Nya dan kepada kaum muslimin dan kepada umat manusia. Jika demikian, ia tidak sekedar memperoleh mata’ud du-nya, tetapi nikmat di Akhirat.

Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu". Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal didalamnya. dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. dan Allah Subhanahu Wata’alaMaha melihat akan hamba-hamba-Nya." (QS:Ali Imran [3]: 15)

Mencintai Tanpa Syarat


ALHAMDULILLAHI rabbil ‘alamin ‘alaa kulli haal. Segala puji bagi Allah Ta’ala dalam segala keadaan. Kepada-Nya kita kita memuji dengan pujian yang sempurna. Tiada tuhanselain Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya Dia yang layak untuk dipuji dan disembah dengan sepenuh penghambaan. Kepada Allah Ta’ala kita meminta pertolongan dan menyandarkan harapan.

Shalawat dan salam semoga tak habis-habis kita lantunkan untuk Rasulullah Muhammad shallaLlahu‘alaihi wa ‘alaa `alihi wa shahbihi wa sallam. Tiada kecintaan kepada Allah‘Azza wa Jalla kecuali dengan mentaati utusan-Nya, Muhammad Al-Amin yang menjadi penutup para nabi. Inilah risalah terakhir yang harus kita pegangi.Tidak ada yang lebih berharga untuk kita wariskan kepada anak-anak kita melebihi segenggam iman yang kita harapkan dengan sepenuh kesungguhan agar tumbuh berakar menguat dalam jiwa mereka.

Akan tetapi….

Tak seperti harta yang dengan sendirinya diwarisi, harus ada perjuangan agar iman itu tumbuh, berkembang, mengakar dan menguat dalam jiwa anak-anak kita sehingga mereka bersedia meneteskan keringat untuk menyemainya. Kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh agar mereka tak berpaling. Dan ini bukan soal kecerdasan. Betapa banyak orang yang memiliki pengetahuan luas, fasih berbicara bahasa Arab, tapi iman itu tak bersemayam dalam dirinya. Betapa banyak orang yang mengetahui dan bahkan memahami nash dengan sangat matang,tapi ia justru menjadi penentangnya yang paling lantang. Betapa banyak orang yang memiliki banyak hafalan, tapi sikap beragamanya justru plin-plan. Na’udzubillahi min dzaalik. Inilah pertanyaan besar yang perlu kita renungi senantiasa agar segenggam iman dalam jiwa anak kita tak terlepas dan berganti dengan keingkaran.

Telah berlalu dari zaman kita ini orang-orang yang cemerlang pengetahuannya, disegani kepakarannya dalam bidang ilmu pengetahuan dan dihormati kepemimpinannya. Dan mereka justru meraih itu semua bermula dari keimanannya yang sangat kuat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Iman itu menggerakkan mereka untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya, termasuk belajar mendalami berbagi cabang pengetahuan. Mereka menjadi pribadi yang kuat karena mereka tidak menyandarkan harapan kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla semata. Tak sibuk meratapi masa lalu karena khawatir menjadi pintu masuknya setan untuk melemahkan jiwa dan imannya.

Ada yang perlu kita renungkan di sini. Jika iman benar-benar tumbuh, maka kesungguhan dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat baginya adalah buah yang manis untuk dipetik. Ini sekaligus menandakan bahwa jika kesungguhan itu tidak hadir, ada yang perlu diperiksa atas iman mereka. Adakah mereka telah benar-benar beriman ataukah hanya memiliki banyak pengetahuan tentang iman. Sangat berbeda mengimani dengan memiliki pengetahuan tentang iman. Seorang yang beriman sudah sepatutnya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengilmui apa yang ia imani. Tetapi sekedar memiliki banyak pengetahuan tentang iman tak serta merta menjadikan diri beriman.

Nah, inilah yang perlu kita renungkan seraya mengingat bahwa sepeninggal kita nanti, di luar shadaqah jariyah dan ilmu yang manfaat, tak adalagi yang dapat kita harapkan manfaatnya selain anak-anak shalih yang mendo’akan. Artinya, pertama-pertama mereka harus menjadi pribadi yang shalih dulu, lalu bersebab keshalihannya mereka mendo’akan kita. Bisa saja anak mendo’akan kita setiap hari meskipun mereka tidak shalih. Tetapi apa manfaat yang dapat kita harap jika mereka mengerjakan apa-apa yang menjadi penghalang terkabulnya do’a? Maka, atas do’a anak-anak kita, yang pertama kali kita perlu risaukan adalah iman mereka; keshalihan mereka.

Jika anak-anak menjadi pribadi yang shalih bersebab upaya kita, apakah dengan mengajarkan agama ini secara langsung kepada mereka ataukah mengantarkan mereka meraih keshalihan melalui didikan guru-guru terbaik, maka atas setiap kebaikan yang mereka perbuat ada pahala yang mengalir untuk kita. Jadi, keshalihan itu pun telah berlimpah manfaatnya meskipun mereka belum mendo’akan kita. Apatah lagi jika mereka tak putus-putus berdo’a memohon kasih-sayang Allah ‘Azza wa Jalla bagi kita.

Tetapi apakah yang menjadikan mereka senantiasa berkeinginan untuk mendo’akan kita? Apakah yang membuat mereka senantiasa mengingat kita? Kedekatan emosi. Jika anak-anak itu tak pernah memiliki rasa rindu kepada kita, bagaimana kita berharap mereka akan senantiasa menyebut-nyebut nama kita dalam do’a mereka sesudah kita tiada? Saat hidup saja tak dirindukan. Apalagi jika nyawa telah tercabut dari badan. Masalahnya, sudahkah kita menyemai rasa rindu di hati anak-anak kita? Sudahkah kita memanfaatkan saat-saat berharga untuk anak kita dengan membersamai mereka dan hadir dalam kehidupan mereka secara bermakna? Inilah yang agaknya perlu kita periksa lebih dalam: saat berharga untuk anak kita. Apa maknanya bagi anak?

Apakah ini berarti kita tak perlu bersibuk mengembangkan potensi mereka? Sangat perlu. Hanya saja kita perlu mengingat bahwa itu semua seharusnya untuk menjadikan anak-anak kita semakin ringan hatinya menolong agama Allah ‘Azza wa Jalla. Kita perlu mencerdaskan anak dan melejitkan potensi mereka.

Apakah ini berarti kita tak perlu bersibuk melejitkan kecerdasan mereka? Sangat perlu. Tapi cerdas saja tidak cukup. Demikian pula cara untuk mengantarkan anak-anak meraih kecemerlangan tersebut amat perlu kita perhatikan. Jangan sampai ambisi kita menjadikan anak “tampak istimewa” justru menjadi sebab rapuhnya jiwa dan lemahnya iman bersebab kita mengejar yang instant, melupakan yang fundamental.

Lalainya kita dari memperhatikan hal-hal yang fundamental justru dapat menjatuhkan kita pada kesalahan yang berkepanjangan, penyesalan tak berkesudahan atau kesia-siaan yang besar, padahal kita telah berpayah-payah melakukannya. Atau justru karena tak mau berpayah-payah, kita mengabaikan yang berharga sekaligus amat bermanfaat untuk anak.

Inginnya anak jenius, tetapi cara instant yang kita tempuh ternyata tak memberi manfaat apa-apa. Musik Mozart salah satu contohnya. Banyak orang mempercayai mitos bahwa memperdengarkan musik Mozart kepada bayi akan menjadikannya jenius. Padahal tak ada riset yang mendukung. Yang ada justru membantah anggapan itu. Sudah ratusan ribu keeping CD Mozart terjual, sembari melupakan bahwa pada waktu kecil Mozart tak pernah mendengar musik Mozart, tetapi sampai hari ini tidak ada satu pun jenius yang terlahir darinya.

Sama halnya dengan bakat. Banyak yang berlebihan menilai bakat seolah ia menjadi penentu keberhasilan, seakan bakat dengan sendirinya menjadikan seseorang unggul. Orangtua sibuk mencari tahu bakat anak, tapi lupa melapangkan hati untuk mencintai tanpa syarat, meluangkan waktu untuknya dan menempanya agar memiliki kesungguhan serta tujuan hidup yang jelas. Kita lupa bagaimana para orangtua yang tak mengenal bakat dapat mengantarkan anak meraih kecemerlangan, bersebab penerimaan mereka apa adanya dan kesungguhannya mendidik anak. Di luar itu ada satu pertanyaan serius, bagaimana bakat itu melekat pada diri seseorang? Muncul dengan sendirinya?

Ada paradoks. Kita semakin banyak belajar tentang cara kerja otak, tapi di saat yang sama justru semakin enggan berpikir. Kita enggan menelaah, sehingga tak tahu mana yang ilmiah mana yang pseudo-ilmiah. Seakan ilmiah, padahal bukan.

Catatan ringan di buku ini ingin mengajak Anda semua untuk senantiasa menakar kembali langkah kita mengasuh anak, adakah ia menguatkan segenggam iman anak kita ataukah justru sebaliknya; iman tak semakin kokoh, sementara kecemerlangan yang kita harap pun tak teraih.

Kepada Allah Ta’ala saya memohon hidayah dan inayah-Nya. Kepada Allah Ta’ala kita memohon keselamatan bagi diri kita, keluarga kita dan keturunan kita seluruhnya. Kepada Allah Ta’ala kita memohon kebaikan dan kebahagiaan bagi kita, keluarga dan keturunan kita seluruhnya. Selebihnya, ingatkanlah saya dan berikanlah nasehat yang tulus. Apa yang benar pasti dari Allah ‘Azza wa Jalla. Dan apa yang salah sepenuhnya merupakan kejahilan dan kelalaian saya. Wallahu a’lam bish-shawab.*

Delapan Sikap Siapkan Diri Menyambut Ramadhan


TAK terasa kita telah memasuki bulan Sya’ban. Sebentar lagi kita akan kedatangan bulan Ramadhan. Setelah sekian lama berpisah, kini Ramadhan kembali akan hadir di tengah-tengah kita. Bagi seorang muslim, tentu kedatangan bulan Ramadhan akan disambut dengan rasa gembira dan penuh syukur, karena Ramadhan merupakan bulan maghfirah, rahmat dan menuai pahala serta sarana menjadi orang yang muttaqin.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita melakukan persiapan diri untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan, agar Ramadhan kali ini benar-benar memiliki nilai yang tinggi dan dapat mengantarkan kita menjadi orang yang bertaqwa.

Tentu saja persiapan diri yang dimaksud di sini bukanlah dengan memborong berbagai macam makanan dan minuman lezat di pasar untuk persiapan makan sahur dan balas dendam ketika berbuka puasa. Juga bukan dengan mengikuti berbagai program acara televisi yang lebih banyak merusak dan melalaikan manusia dari mengingat Allah Subhanahu Wata’ala dari pada manfaat yang diharapkan, itupun kalau ada manfaatnya. Bukan pula pergi ke pantai menjelang Ramadhan untuk rekreasi, makan-makan dan bermain-main.

Jadi, bagaimana sebenarnya cara kita menyambut Ramadhan? Apa yang mesti kita persiapkan dalam hal ini? Maka tulisan ini mencoba memberi jawaban dari pertanyaan tersebut. Menurut penulis, banyak hal yang perlu dilakukan dalam rangka persiapan menyambut kedatangan Ramadhan, yaitu:

Pertama, berdoa kepada Allah Subhanahu Wata’ala, sebagaimana yang dicontohkan para ulama salafusshalih. Mereka berdoa kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan sungguh-sungguh agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan sejak enam bulan sebelumnya dan selama enam bulan berikutnya mereka berdoa agar puasanya diterima Allah Subhanahu Wata’ala, karena berjumpa dengan bulan ini merupakan nikmat yang besar bagi orang-orang yang dianugerahi taufik oleh Allah Subhanahu Wata’ala, Mu’alla bin al-Fadhl berkata, “Dulunya para salaf berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan berikutnya agar Dia menerima (amal-amal shaleh) yang mereka kerjakan” (Lathaif Al-Ma’aarif: 174)

Di antara doa mereka itu adalah: ”Ya Allah, serahkanlah aku kepada Ramadhan dan serahkan Ramadhan kepadaku dan Engkau menerimanya kepadaku dengan kerelaan”. Dan doa yang populer: ”Ya Allah, berkatilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan”.


Kedua, menuntaskan puasa tahun lalu. Sudah seharusnya kita mengqadha puasa sesegera mungkin sebelum datang Ramadhan berikutnya. Namun kalau seseorang mempunyai kesibukan atau halangan tertentu untuk mengqadhanya seperti seorang ibu yang sibuk menyusui anaknya, maka hendaklah ia menuntaskan hutang puasa tahun lalu pada bulan Sya’ban.

Sebagaimana Aisyah r.a tidak bisa mengqadha puasanya kecuali pada bulan Sya’ban. Menunda qadhapuasa dengan sengaja tanpa ada uzur syar’i sampai masuk Ramadhan berikutnya adalah dosa, maka kewajibannya adalah tetap mengqadha, dan ditambah kewajiban membayar fidyah menurut sebagian ulama.

Ketiga, persiapan keilmuan (memahami fikih puasa). Mu’adz bin Jabal r.a berkata: ”Hendaklah kalian memperhatikan ilmu, karena mencari ilmu karena Allah adalah ibadah”. Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengomentari atsar diatas, ”Orang yang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya dan apa-apa yang menguranginya”.

Oleh karena itu, suatu amal perbuatan tanpa dilandasi ilmu, maka kerusakannya lebih banyak daripada kebaikannya. Maka dalam hal ini, hanya dengan ilmu kita dapat mengetahui cara berpuasa yang benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam. Begitu juga ilmu sangat diperlukan dalam melaksanakan ibadah lainnya seperti wudhu, shalat, haji dan sebagainya. Maka, menjelang Ramadhan ini sudah sepatutnya kita untuk membaca buku fiqhus shiyam (fikih puasa) dan ibadah lain yang berkaitan dengan Ramadhan seperti shalat tarawih, i’tikaf dan membaca al-Quran.

Kempat, persiapan jiwa dan spiritual. Persiapan yang dimaksud di sini adalah mempersiapkan diri lahir dan batin untuk melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah agung lainnya di bulan Ramadhan dengan sebaik-sebaiknya, yaitu dengan hati yang ikhlas dan praktek ibadah yang sesuai dengan petunjuk dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam.

Persiapan jiwa dan spiritual merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam upaya untuk memetik manfaat sepenuhnya dari ibadah puasa. Penyucian jiwa (Tazkiayatun nafs) dengan berbagai amal ibadah dapat melahirkan keikhlasan, kesabaran, ketawakkalan, dan amalan-amalan hati lainnya yang akan menuntun seseorang kepada jenjang ibadah yang berkualitas. Salah satu cara untuk mempersiapkan jiwa dan spritual untuk menyambut Ramadhan adalah dengan jalan melatih dan memperbanyak ibadah di bulan sebelumnya, minimal di bulan Sya’ban ini seperti memperbanyak puasa Sunnat.

Memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban merupakan sunnah Rasul Shalallahu ‘alaihi Wassallam. Aisyah ra, ia berkata, “Aku belum pernah melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassallam berpuasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan, dan aku belum pernah melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassallam berpuasa sebanyak yang ia lakukan di bulan Sya’ban." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain, dari Usamah bin Zaid r.a ia berkata, aku bertanya, “Wahai Rasulullah, aku belum pernah melihatmu berpuasa pada bulan-bulan lain yang sesering pada bulan Sya’ban”. Beliau bersabda, “Itu adalah bulan yang diabaikan oleh orang-orang, yaitu antara bulan Ra’jab dengan Ramadhan. Padahal pada bulan itu amal-amal diangkat dan dihadapkan kepada Rabb semesta alam, maka aku ingin amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa.” (HR. Nasa’i dan Abu Daud serta dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah).

Adapun pengkhususan puasa dan shalat sunat seperti shalat tasbih pada malam nisfu sya’ban (pertengahan Sya’ban) dengan menyangka bahwa ia memiliki keutamaan, maka hal itu tidak ada dalil shahih yang mensyariatkannya. Menurut para ulama besar, dalil yang dijadikan sandaran mengenai keutamaannisfu sya’ban adalah hadits dhaif (lemah) yang tidak bisa dijadikan hujjah dalam persoalan ibadah, bahkanmaudhu’ (palsu). Oleh Sebab itu, Imam Ibnu Al-Jauzi memasukkan hadits-hadits mengenai keutamaan nishfu Sya’ban ke dalam kitabnya Al-Maudhu’at (hadits-hadits palsu).

Al-Mubarakfuri berkata, “Saya tidak mendapatkan hadits marfu’ yang shahih tentang puasa pada pertengahan bulan Sya’ban. Adapun hadits keutamaan nisfu Sya’ban yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah saya telah mengetahui bahwa hadits ini adalah hadits sangat lemah” (Tuhfah Al-Ahwazi: 3/444).

Syaikh Shalih bin Fauzan berkata, “Adapun hadits-hadits yang terdapat dalam masalah ini, semuanya adalah hadits palsu sebagaimana dikemukakan oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang yang memiliki kebiasaan berpuasa pada ayyamul bidh (tanggal 14, 15, 16), maka ia boleh melakukan puasa pada bulan Sya’ban seperti bulan-bulan lainnya tanpa mengkhususkan hari itu saja.”

Syaikh Sayyid Sabiq berkata, “Mengkhususkan puasa pada hari nisfu Sya’ban dengan menyangka bahwa hari-hari tersbut memiliki keutamaan dari pada hari lainnya, tidak memiliki dalil yang shahih” (Fiqh As-Sunnah: 1/416).

Kelima, persiapan dana (finansial). Sebaiknya aktivitas ibadah di bulan Ramadhan harus lebih mewarnai hari-hari ketimbang aktivitas mencari nafkah atau yang lainnya. Pada bulan ini setiap muslim dianjurkan memperbanyak amal shalih seperti infaq, shadaqah dan ifthar (memberi bukaan). Karena itu, sebaiknya dibuat sebuah agenda maliah (keuangan) yang mengalokasikan dana untuk shadaqah, infaq serta memberi ifhtar selama bulan ini. Moment Ramadhan merupakan moment yang paling tepat dan utama untuk menyalurkan ibadah maliah kita. Ibnu Abbas r.a berkata, ”Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan.” (H.R Bukhari dan Muslim). Termasuk dalam persiapan maliah adalah mempersiapkan dana agar dapat beri’tikaf dengan tanpa memikirkan beban ekonomi untuk keluarga.

Keenam, persiapan fisik yaitu menjaga kesehatan. Persiapan fisik agar tetap sehat dan kuat di bulan Ramadhan sangat penting. Kesehatan merupakan modal utama dalam beribadah. Orang yang sehat dapat melakukan ibadah dengan baik. Namun sebaliknya bila seseorang sakit, maka ibadahnya terganggu. Rasul Shalallahu ‘alaihi Wassallam bersabda, “Pergunakanlah kesempatan yang lima sebelum datang yang lima; masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al-Hakim)

Maka, untuk meyambut Ramadhan kita harus menjaga kesehatan dan stamina dengan cara menjaga pola makan yang sehat dan bergizi, dan istirahat cukup.

Ketujuh, menyelenggarakan tarhib Ramadhan. Disamping persiapan secara individual, kita juga hendaknya melakukan persiapan secara kolektif, seperti melakukan tarhib Ramadhan yaitu mengumpulkan kaum muslimin di masjid atau di tempat lain untuk diberi pengarahan mengenai puasa Ramadhan, adab-adab, syarat dan rukunnya, hal-hal yang membatalkannya atau amal ibadah lainnya.

Menjelang bulan Ramadhan tiba, Rasul Shalallahu ‘alaihi Wassallam memberikan pengarahan mengenai puasa kepada para shahabat. Beliau juga memberi kabar gembira akan kedatangan bulan Ramadhan dengan menjelaskan berbagai keutamaannya. Abu Hurairah ra berkata, “menjelang kedatangan bulan Ramadhan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam bersabda, “Telah datang kepada kamu syahrun mubarak (bulan yang diberkahi). Diwajibkan kamu berpuasa padanya. Pada bulan tersebut pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, syaithan-syaithan dibelunggu. Padanya juga terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang terhalang kebaikan pada malam itu, maka ia telah terhalang dari kebaikan tersebut.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i dan Al-Baihaqi). Selain itu, banyak lagi hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan Ramadhan. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassallam untuk memberi motivasi dan semangat kepada para sahabat dan umat Islam setelah mereka dalam beribadah di bulan Ramadhan.

Akhirnya, penulis mengajak seluruh umat Islam khususnya di Aceh untuk menyambut bulan Ramadhan yang sudah di ambang pintu ini dengan gembira dan mempersiapkan diri untuk beribadah dengan optimal. Selain itu kita berharap kepada Allah Subhanahu Wata’ala agar ibadah kita diterima, tentu dengan ikhlas dan sesuai Sunnah Rasul Shalallahu ‘alaihi Wassallam. Semoga kita dipertemukan dengan Ramadhan dan dapat meraih berbagai keutamaannya.*



Penulis adalah ketua Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh & kandidat Doktor Ushul Fiqh, International Islamic University Malaysia (IIUM)

Menjadi Mukmin “Gandum”


DALAM sebuah Hadits Anas bin Malik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Perumpamaan seorang mukmin itu seperti setangkai gandum, terkadang condong dan terkadang tegak.” (Riwayat Abu Ya’la. Isnad-nya hasan).

Apakah yang beliau maksud dalam Hadits tersebut di atas? Coba perhatikanlah ladang gandum atau padi. Ketika angin bertiup lembut, tangkai mayangnya melambai-lambai dengan anggun. Ketika angin kembali tenang, mereka tegak lagi dengan indahnya. Bila angin bertiup lebih keras yang sanggup mematahkan cabang-cabang pohon besar dan bahkan mencabutnya sampai ke akar, gandum dan padi itu ternyata juga rebah, akan tetapi tidak tercerabut dari akarnya. Maka demikian pulalah seorang mukmin. Dinamika kehidupan bisa mendatanginya dengan seribu satu wajah, namun dia tetap seorang mukmin. Ujian dan cobaan mungkin menerpanya dari berbagai penjuru, dan terkadang dia harus rebah, namun keyakinannya kepada Allah tidak pernah gugur.

Mukmin Berbagai Kondisi

Seorang mukmin memiliki prinsip-prinsip yang terang dalam menjalani hidupnya, karena setiap sikapnya dilandasi ilmu dan keyakinan. Ia tidak sekadar ikut-ikutan, apalagi terhanyut oleh tren dan mode. Maka dalam segala situasi dia mantap dan percaya diri, karena tahu betul bahwa dirinya berada di atas kebenaran.

Sekilas, mungkin dia bisa terkesan sombong. Namun, ada perbedaan besar antara kesombongan dengan keyakinan. Kesombongan dilandasi penolakan terhadap kebenaran dan dikobarkan oleh nafsu untuk meremehkan sesama, sementara keyakinan didasari oleh ilmu dan iman. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada kesombongan walau seberat biji sawi.” Ada yang berkata, “Sungguh seseorang itu ingin bajunya bangus, demikian pula sandalnya.” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah, Dia pun mencintai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR Riwayat Muslim)

Sebaliknya, keteguhan seorang mukmin adalah refleksi iman, sebagai pengamalan dari sabda Rasulullah ini, “Janganlah kalian menjadi orang yang plin-plan, yang berkata: ‘Jika orang lain baik, kami pun baik; jika mereka zhalim, kami pun zhalim.’ Akan tetapi, teguhkan diri kalian. Jika orang lain baik, hendaknya kalian pun baik, dan jika mereka berbuat keburukan, maka jangan kalian ikut menjadi zhalim.” (Riwayat at-Tirmidzi dan al-Bazzar, dari Hudzaifah. Hadits hasan-gharib).

Inilah yang disebut dengan shiddiq, salah satu sifat yang sangat mulia. Secara bahasa, shiddiq artinya jujur dan benar. Apa yang dimaksud jujur dan benar di sini tidak hanya pada perkataan, namun lebih luas lagi. Kejujuran seorang shiddiq juga terlihat dalam perbuatannya, tindak-tanduknya, isi hatinya, pikirannya, cita-citanya, dan seterusnya. Pendeknya, seluruh aspek kepribadiannya adalah jujur dan benar, bukan kebohongan dan rekayasa. Ia adalah Muslim ketika sendirian maupun di hadapan orang banyak.

Ia adalah orang baik-baik, entah saat lapang atau sempit, saat berkuasa atau saat menjadi rakyat jelata. Ada kesempatan maupun tidak, dia tetaplah orang yang sama baiknya. Tentu saja, seseorang yang tiba-tiba menjadi baik dan dekat dengan masyarakat menjelang Pemilu dan Pilkada, bukan penyandang sifat shiddiq, kecuali jika sudah seperti itu sejak dahulu, dan akan tetap demikian sampai akhir hayatnya. Kita dapat menyebut seorang mukmin sebagai pribadi yang memiliki integritas tinggi.

Abu Bakar as-Shiddiq

Contoh pribadi shiddiq, selain para Nabi dan Rasul, adalah Abu Bakar. Sosok ini benar-benar layak menyandang gelar tersebut, karena sedemikian teguhnya sikap yang beliau miliki. Riwayat-riwayat yang mengisahkan biografi beliau menggambarkan dengan gamblang bahwa di zaman jahiliyah sekali pun, ternyata beliau tidak pernah berzina atau minum khamr. Padahal, keduanya merupakan perilaku yang sangat umum didapati pada masa itu. Maka, Umar bin Khattab pun “menyerah” karena tidak sanggup mengejar keutamaan Abu Bakar.

Ibnu Mas’ud pernah ditanya oleh Sa’id bin Zaid, “Wahai Abu Abdirrahman, Rasulullah telah wafat, dimanakah beliau sekarang?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Beliau di surga.” Sa’id bertanya lagi, “Abu Bakar telah meninggal, di manakah beliau sekarang?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Orang yang penuh kasih itu, selalu mencari kebajikan dimana pun adanya.” Sa’id bertanya kembali, “Umar pun telah meninggal, dimanakah beliau sekarang?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Bila orang-orang shalih disebut, ayo segeralah sebutkan Umar!” (Riwayat Abdurrazzaq dan ath-Thabrani. Sanad-nya hasan).

Benar. Abu Bakar adalah sosok yang selalu mengejar kebajikan dimana pun adanya. Maka, sangat wajar jika beliau termasuk salah seorang yang dipanggil masuk surga dari semua pintu, dan dipersilakan memilih mana saja yang disukainya. Sebab, beliau punya “tiket” untuk semuanya.

Rasulullah pernah bersabda, “Siapa yang membiayai dua orang istri dari hartanya sendiri di jalan Allah, akan dipanggil dari pintu-pintu surga. Surga itu mempunyai pintu-pintu. Siapa yang tekun mengerjakan shalat, dipanggil dari pintu shalat. Siapa yang rajin bersedekah, dipanggil dari pintu sedekah. Siapa yang gemar berjihad, dipanggil dari pintu jihad. Siapa yang suka berpuasa, dipanggil dari pintu Ar-Rayyan.” Maka, Abu Bakar pun berkata, “Tidak masalah bagi seseorang jika dipanggil dari pintu surga yang mana saja. Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang yang dipanggil dari semua pintu itu?” Rasulullah menjawab, “Ya, ada. Dan, sungguh aku berharap engkau adalah salah seorang di antara mereka.” (Riwayat Ahmad. Semua perawinya tsiqah).

Inilah orang shiddiq itu, dan demikianlah gambaran ideal seorang mukmin. Oleh karenanya, para ulama’ berusaha keras mengumpulkan satu demi satu sifat dan tanda keimanan. Salah satu kumpulan paling baik di bidang ini adalah Al-Jami’ Li Syu’abil Iman, karya Imam Abu Bakr al-Baihaqi. Kitab ini sangat tebal, sampai 14 juz dan memuat lebih dari 10 ribu riwayat. Namun, beruntunglah bahwa al-Qadhi Abul Ma’ali al-Qazwini telah meringkaskannya untuk kita, sehingga menjadi 178 halaman saja. Di dalamnya telah dipaparkan 77 cabang iman, yang dengan mengamalkannya akan menjadikan kita seorang mukmin yang paripurna.



Menurut hemat kami, daripada membaca ulasan karakter manusia unggul yang bersumber dari penulis-penulis Barat, seribu kali jauh lebih baik kita menelaah karya semacam ini. Membaca ayat Al-Qur’an dan menelaah Hadits jelas bernilai ibadah dan mengandung dzikir, sesuatu yang tidak akan kita dapatkan dari karya-karya berbasis psikologi materialis-sekuler yang seringkali anti-Tuhan, menolak metafisika, dan tidak sedikit pun berbicara tentang akhirat. Tunggu apa lagi? Ayo, kejarlah kebajikan itu dimana pun adanya!.

Berusaha dan Tawakkal, Bukan Diam dan Berangan-angan!


SECARA bahasa, istilah tawakkal berasal dari al-wakalah, yaitu penyerahan dan penyandaran. Orang ber-tawakkal kepada yang lain ketika hatinya merasa tenang dan percaya kepada yang disandarinya itu, tidak mencurigainya akan berbuat sembrono, dan tidak melihat adanya kelemahan maupun cacat padanya. Sedangkan menurut istilah syari’at, tawakkal adalah percaya (tsiqah) kepada apa yang ada di sisi Allah dan tidak mengharapkan apa yang ada di tangan selain-Nya, termasuk sesama manusia.

Menurut Imam al-Baihaqi dalam Al-Jami’ Li Syu’abil Iman, tawakkal merupakan kewajiban seorang mukmin dan menjadi salah satu pertanda eksistensi iman di dalam hatinya. Di antara 77 cabang iman yang beliau uraikan dalam kitab tersebut, tawakkal adalah cabang ke-13. Ini sekaligus mengisyaratkan betapa pentingnya kedudukan tawakkal dalam akidah seorang muslim. Namun, karena tawakkalmerupakan hakikat yang abstrak, ia sangat sering disalahpahami, yang kemudian melahirkan tindakan-tindakan yang salah pula.

Atas dasar ini, seorang mukmin sepenuhnya percaya bahwa rezekinya, nasibnya, bahkan hidup dan matinya, pada hakikatnya adalah dijamin oleh Allah; bukan oleh bos, atasan, majikan, suami, direktur, komandan, atau siapa pun yang lain; bukan pula oleh pabrik, lembaga pendidikan, bisnis, titel, pekerjaan, jabatan, atau apa pun yang lain. Alhasil, setiap kali ia mendapat gaji, bonus, dan rezeki maka seketika hatinya akan tersambung dan berterima kasih kepada Allah, bukan kepada yang lain. Karenanya pula ia tidak pernah lupa berbagi dan bersedekah dengan sebagian darinya, sebagai ekspresi syukur kepada Allah Sang Pemberi.

Keyakinan seperti inilah yang akan membuatnya berani dan tidak lembek. Ia takkan bisa ditekan untuk melakukan kemaksiatan oleh atasan maupun lembaga tempatnya bekerja, walau diancam akan dipecat jika menolak. Sebab, ia tahu bahwa rezeki datangnya dari Allah, bukan dari manusia. Prinsip serupa dipegangnya erat-erat dalam masalah jodoh, karier, pendidikan, dsb. Dengan kata lain, mestinya tawakkal menjadi energi positif yang membangun dan menegakkan sikap, bukan racun yang menghancurkan dan melumerkan prinsip.
Jadi, tawakkal sebenarnya tidak identik dengan pasrah, diam, atau mengalah; bahkan justru sebaliknya. Ayat-ayat tentang tawakkal di dalam al-Qur’an penuh dengan motivasi agar terus maju, pantang mundur, bekerja keras, dan tidak takut terhadap ancaman maupun rintangan yang menghadang. Misalnya, ketika Bani Israil gentar dan menolak maju ke medan perang karena melihat musuh-musuhnya yang sangat kuat, maka:

قَالَ رَجُلاَنِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُواْ عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang telah Allah beri nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu! Maka bila kalian memasukinya niscaya kalian akan menang! Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman!” (QS. Al-Ma’idah: 23)

Ayat-ayat yang menggugah semangat seperti ini dapat dibaca dalam berbagai surah yang lain, seperti Ali ‘Imran: 122 dan 159-160, al-Ma’idah: 11, at-Taubah: 51, Ibrahim: 11-12, an-Naml: 79, dsb. Bacalah secara utuh ayat-ayat lain yang terletak sebelum maupun sesudah ayat-ayat tersebut, niscaya kita akan mengerti bahwa anjuran Al-Qur’an untuk ber-tawakkal justru berarti maju terus dan yakin kepada janji Allah.

Memang patut disayangkan ketika tawakkal banyak disalahartikan. Akhlak Islam yang sebenarnya hendak meletupkan energi raksasa ini malah diubah menjadi buaian yang meninabobokkan. Di antara dalil yang sering disalahpahami adalah hadits shahih riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah berikut ini: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, pasti Dia akan memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberikannya kepada burung-burung. Mereka berangkat di pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.”

Dengan berdalih pada hadits ini, sebagian orang kemudian tidak berbuat apa-apa, lalu mengharap rezekinya turun dari langit, nasibnya berubah tanpa kerja keras, dan akalnya menjadi cerdas tanpa belajar. Padahal, kalau kita cermati baik-baik hadits diatas, ternyata burung tersebut tidak hanya mendekam di sarangnya. Ia terbang mengepakkan sayapnya lalu mendatangi tempat-tempat dimana rezekinya biasanya banyak terdapat. Lihatlah, bahkan burung yang tidak berakal pun bekerja keras untuk setiap suapan makanannya. Bagaimanakah manusia yang diberi akal dan ilmu rela duduk bermalas-malasan?

Ketidaktepatan lain yang sering muncul dalam memahami tawakkal adalah ketika ia disandingkan dengan “usaha”. Bahkan ada yang sengaja menjadikannya sebagai dua hal yang berlawanan. Seolah-olah orang yang bertawakkal tidak perlu berusaha, dan orang yang berusaha berarti tidak bertawakkal. Benarkah demikian? Terkait masalah ini, seorang tokoh Sufi termasyhur, yaitu Abu Muhammad Sahl bin ‘Abdullah at-Tustariy az-Zahid (w. 283 H) berkata, “Barangsiapa yang mencela usaha (al-iktisab) maka dia telah mencela Sunnah, dan barangsiapa yang mencela tawakkal maka dia telah mencela iman.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatu al-Auliya’). Dalam riwayat lain, beliau berkata, “Tawakkal adalah keadaan jiwa (haal) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan usaha (al-kasab) adalah Sunnah beliau. Barangsiapa yang berada pada haal beliau, maka jangan sekali-kali meninggalkan Sunnahnya.” (Dikutip dari ar-Risalah al-Qusyairiyah).



Dengan kata lain, tawakkal adalah amalan hati seorang mukmin, sedangkan usaha adalah amalan fisiknya. Namun, betapa banyak orang yang memutar-balikkannya: hatinya berusaha dengan terus berangan-angan, sedangkan badannya bertawakkal dengan diam dan bersandar.Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar

Indahnya Berukhuwah dan Saling Menebar Salam


KUALITAS pertemuan dalam kehidupan umat memiliki kekuatan tersendiri untuk membentengi persatuan dan keutuhan umat. Oleh karenanya, setiap pertemuan harus dilandasi ‘aroma’ persaudaraan dan keakraban yang berkualitas. Kehidupan umat yang baik, tercermin dari perilaku mereka yang salah satunya ketika bertemu mereka saling bertegur sapa. Dengan saling menyapa, dapat menjalin keakraban dan keharmonisan di antara umat yang memiliki beragam karakter.

Contohnya, Indonesia sebagai negara kepulauan yang kaya akan ragam budaya, suku dan agama para warga negaranya. Keharmonisan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus menjadi prioritas bersama. Apalagi penduduk Indonesia sebagian besar beragama Islam, agama yang sangat menjunjung nilai-nilai kebersamaan dalam berjamaah.

Sepatutnya, umat Islam di negeri ini menjadi pioner dalam gerakan menjaga ukhuwah umat demi keutuhan bangsa.

Islam telah menjadikan salam sebagai identitas kehidupan umat berjamaah, kapan dan di manapun mereka berada. Utuhnya persaudara umat Islam juga sangat bergantung pada eksistensi salam dalam kehidupannya yang harmonis. Komunikasi umat akan semakin berkualitas jika selalu diawali dan diakhiri dengan saling mengucapkan salam dengan tulus. Sementara, komunikasi adalah sarana utama dalam kehidupan umat Islam yang menjunjung nilai-nilai sosial dan imamah jamaah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam telah memberikan perhatian yang besar terhadap amalan salam, beliau memotivasi umatnya untuk senantiasa menanamkan dan mempraktekkan salam dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai umat Islam, tentu tidak ada ruginya jika kita mengucapkan salam ketika bertemu siapa saja. Karena doa dalam salam yang kita sampaikan kepada orang lain, secara tidak langsung juga memberi manfaat untuk diri kita sendiri.

Rasulullah juga tidak pernah segan untuk mengulangi salamnya beberapa kali ketika mendatangi umatnya, hal ini sebagai bukti betapa pentingnya salam. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis, bahwa apabila Rasulullah mendatangi suatu kaum, maka beliau mengucapkan salam kepada mereka sebanyak tiga kali. (Riwayat Bukhari)

Demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam menegaskan kepada kita akan perlunya menyebarkan salam, terlebih-lebih bagi mereka yang kehidupannya menjadi sorotan umat di dunia ini. Teramat banyak publik figure saat ini yang mengabaikan salam ketika mereka bertemu orang lain apalagi orang miskin lagi papa. Mereka hanya menyampaikan salam jika memiliki maksud dan tujuan tertentu, itupun hanya pada kalangan atau koleganya saja.

Hal ini bertolak belakang dengan kehidupan di zaman Rasulullah. Pernah suatu hari, Abdullah bin Umar RA pergi ke pasar dan mengucapkan salam pada setiap orang yang dijumpainya, seseorang bertanya padanya. “Apa yang engkau lakukan di pasar wahai Ibnu Umar? Engkau tidak berniaga, tidak juga membeli sesuatu dan tidak menawarkan dagangan, engkau juga tidak bergabung dalam majelis orang-orang di pasar.” Ibnu Umar menjawab, ”Sesungguhnya aku pergi ke sana hanya untuk menyebarkan salam pada orang yang aku jumpai.”

Makna yang tersirat dalam kisah tersebut adalah keutamaan menyebarkan salam karena merupakan adab yang istimewa dalam kehidupan masyarakat Muslim. Salam bukanlah sekedar tradisi pada pembukaan dan penutupan suatu acara semata, ataupun disampaikan pada orang-orang tertentu saja.

Rasulullah bersabda, “Islam yang baik adalah memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sudah cukup jelas, kita sebagai umat Islam yang memiliki sejarah peradaban mulia, semestinya mempertahankan dan melestarikan tradisi berbagi salam kepada siapapun, kapanpun dan di manapun kita berada. Rasulullah sebagai teladan umat telah memberi contoh kepribadian Muslim yang santun dalam berbagi salam. Sudah seharusnya menyampaikan salam dan wajib menjawab salam, jika dirinya mengaku dan bertekad menjadi ahlus sunnah wal jamaah.

Allah Subhanahu Wata’ala juga memerintahkan kita untuk saling menebar salam, terutama ketika kita sedang bersilaturahmi ke rumah seseorang.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS an-Nuur [24]: 27)

Kaidah Mengucapkan Salam

Dalam Islam, kaidah-kaidah menebar salam telah diatur sistematis dan strategis untuk menjaga ukhuwah Islamiyah. Dan, Rasulullah dalam banyak hadisnya telah memberi tuntunan atau tata cara memberi salam yang baik. Bahkan banyak ahli hadis yang mengkhususkan dan meletakkan pembahasan salam dalam satu bab tersendiri yang biasa disebut “Kitab Salam” atau pun “Bab Salam”.

Beberapa kaidah salam yang baik diantaranya; bagi orang yang berkenderaan mengucapkan salam kepada yang berjalan kaki dan pejalan kaki memberi salam kepada yang duduk. Orang yang lebih muda memberi salam kepada yang lebih tua, mereka yang kuat memberi salam kepada yang lemah. Bagi yang kaya memberi salam kepada yang miskin dan seterusnya. Jika seperti itu, secara sendirinya akan menghilangkan egoisme dalam diri umat sekaligus menjalin interaksi sosial yang baik.

Salam tidak hanya untuk kaum pria saja, Asma’ binti Yazid RA pernah meriwayatkan bahwa Rasulullah ketika lewat di depan masjid dan sekelompok perempuan sedang duduk-duduk di sana, maka Rasulullah melambaikan tangannya sambil memberi salam. Selanjutnya, dianjurkan juga untuk mengucapkan salam kepada anak-anak, agar membiasakan mereka dengan adab-adab memberi salam. Anas RA Menceritakan bahwa ketika ia melewati anak-anak kecil, kemudian ia mengucapkan salam kepada anak-anak tersebut.

Kaidah salam yang lain juga telah mengatur rendah dan tingginya suara ketika mengucapkan salam. Terutama ketika malam hari, mengucapkan salam harus dengan suara rendah dan lembut selama dapat didengar oleh orang yang masih terjaga. Dengan kata lain, apabila mengucapkan salam pada malam hari selama bukan urusan yang amat penting dan mendesak, tidak boleh mengganggu orang yang sedang tidur apalagi membangunkannya.

Dan masih banyak adab-adab lainnya yang mengatur tata cara dalam mengucapkan salam. Rasulullah dan para sahabatnya adalah umat terbaik sepanjang sejarah kehidupan umat manusia, mereka telah mencontohkan tata cara yang baik dalam menebar salam antara satu dengan yang lain. Mereka tidak lupa berbagi salam entah itu di masjid, di majelis, di pasar, di jalanan dan di medan perang sekali pun. Inilah spirit yang harus kita ambil, agar sesama kita senantiasa saling mendoakan melalui salam yang kita sebarkan demi meraih kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat.

Keutamaan Berbagi Salam

Allah Subhanahu Wata’ala telah mengajarkan salam sejak menciptakan Nabi Adam AS, sebagai manusia pertama. Dengan harapan, keturunan manusia selanjutnya, kapanpun dan di manapun mereka berada selalu berpegang teguh pada salam. Karena salam mengandung makna keselamatan yang sudah tentu disenangi dan disukai seluruh umat manusia. Hebatnya, umat Islam adalah satu-satunya umat yang masih mengucapkan salam rabbani yang murni hingga detik ini.

Sesungguhnya, salam yang kita sebarkan adalah doa untuk orang yang mendengarnya dan juga doa untuk diri kita sendiri.

Allah berfirman;

فَإِذَا دَخَلْتُم بُيُوتاً فَسَلِّمُوا عَلَى أَنفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُون

“…Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya), yang artinya juga memberi salam kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya bagimu, agar kamu memahaminya." (QS an-Nuur [24]: 61)

Ayat tersebut menjelaskan perintah Allah kepada siapapun yang berkunjung ke rumah seseorang, untuk mengucapkan salam sebelum meminta izin memasuki rumah yang dikunjunginya. Dengan salam tersebut, diharapkan dapat mendatangkan keberkahan Allah bagi seisi rumah yang mendengar salam, sekaligus menjadi berkat bagi yang mengucapkannya. Inilah fadhilah salam yang dijanjikan Allah bagi umat manusia yang gemar berbagi salam dengan baik.

Bahkan, Rasulullah menyuruh kita mengucapkan salam lebih dahulu sebelum meminta izin memasuki suatu rumah. Pernah datang seorang Bani Amir ke rumah Rasulullah dan meminta izin untuk memasuki rumah beliau. Maka Rasulullah berkata kepada pembantunya, “Keluarlah kamu dan ajarkan laki-laki itu adab meminta izin, katakanlah padanya untuk mengucapkan: ‘Assalamu’alaikum, bolehkah aku masuk?’(Riwayat Bukhari).

Selain itu, keutamaan salam yang lain adalah sebagai salah satu wasiat Rasulullah yang diperintahkan kepada para sahabat dan umat setelahnya untuk diterapkan dalam kehidupan sosial mereka. Ada tujuh wasiat Rasulullah, yakni: menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, mendoakan yang bersin, menolong yang lemah, membantu yang terzalimi, menyebarkan salam dan menunaikan janji (sumpah).

Inilah pentingnya kita sebagai umat Muslim untuk saling menebar salam di antara kita, baik itu di pasar, di perjalanan, di masjid dan di manapun ketika kita bertemu dengan siapapun, terlebih-lebih bertemu saudara seiman. Salam dapat menumbuhkan bibit-bibit cinta dalam jiwa, melapangkan dan menguatkan ikatan kasih sayang dan keakraban antara pribadi dan masyarakat.

Menebar salam dengan ikhlas dapat menjaga keimanan dan menumbuhkan ikatan cinta yang kuat dalam kehidupan umat Muslim. Sebagaimana Rasulullah bersabda, yang artinya, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang jika kalian lakukan, kalian akan saling mencintai? Sebarkan salam di antara kalian.” (Riwayat Muslim)

Betapa indahnya ukhuwah Islamiyah ketika masing-masing kita saling menebar salam yang baik lagi santun. Salam yang lahir murni dari dalam sanubari dengan ikhlas, tanpa embel-embel untuk mengharapkan sesuatu, kecuali ridha Allah. Dan Allah telah menyiapkan tempat yang mulia bagi siapapun yang selalu menebar salam. Rasulullah berkata,



“Sesungguhnya orang yang paling utama di sisi Allah adalah mereka yang memulai salam.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).*/Zainal Arifin, pengasuh di Kampus Putri Hidayatullah Batam

Songsong Masa Depan dengan Melihat Tabung Amal Kita


UMUMNYA orang memahami masa depan hanya sebatas usia tua. Tidak heran jika banyak orang mati-matian mengumpulkan uang sejak muda dengan harapan hidup berlimpah harta di masa tuanya. Bahkan, kalau perlu kekuasaan tetap berada di tangan keturunannya.

Sekiranya, cara mendapatkannya halal, tentu tidak mengapa. Persoalannya adalah ketika pengumpulan harta itu dilakukan dengan cara-cara curang dan haram. Tentu ini suatu kecelakaan besar. Jangankan di akhirat, di masa tua di dunia pun pasti akan sengsara.

Lihatlah nasib Fir’aun, Haman, Qarun, Namrudz dan yang lainnya.

Seperti jamak diketahui, sekarang ini demi sebuah posisi atau jabatan, sebagian orang sangat mudah berjanji dan sering tidak menepatinya tanpa sedikitpun ada penyesalan. Lain di bibir lain di hati.

Di depan orang bertindak seperti orang baik, di belakang sering mengabaikan perintah agama. Gemar sekali bermaksiat, menipu, menggunjing, dan menebar berita yang tidak jelas kebenarannya. Termasuk tidak segan-segan memfitnah saudara sendiri jika dianggap menghambat perjalanan karir atau mengancam posisinya. Sementara itu, tradisi yang dibangun setiap hari dan malamnya hanyalah ke kafe, hotel, dugem, dan pesta-pesta tiada henti. “Semua itu demi masa depan,” dalihnya.

Padahal, mengacu pada sumber hadits Nabi, di akhirat nanti, setiap manusia harus melintasi yang namanya shirath (jembatan) yang menjadi penentu nasib setiap jiwa bisa masuk surga atau terjun ke neraka. Oleh karena itu, Ibn Athaillah sangat heran kepada tingkah laku kebanyakan manusia yang heboh mengejar dunia dan tertawa-tawa seolah telah peroleh kebahagiaan akhirat. Di depan manusia bertingkah laku baik, di belakang sering melupakan aturan Allah.

Bahagia Seakan Telah Melintasi Shirath

Dalam kitabnya Tajul Arus, Ibn Athaillah berkata, “Kau tertawa terbahak-bahak seakan-akan telah melewati jembatan (shirath) dan menyeberangi neraka. Jika kau tidak menjaga sikap wara’ kepada Allah yang bisa mencegah dari maksiat ketika sendiri, taburkan tanah ke atas kepala sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Barangsiapa tidak memiliki sikap wara’ yang bisa mencegahnya dari maksiat ketika sendiri, Allah sama sekali tidak akan memedulikan amalnya,” (HR. Al-Daylami).

Shirath sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi adalah jembatan di atas Jahannam. Dalam shahih Bukhari Muslim disebutkan, “Jembatan Jahannam dibentangkan dan aku yang pertama kali melewatinya. Doa para rasul ketika itu adalah: ‘Ya Allah, selamatkan!”

Pada jembatan itu terdapat jangkar-jangkar seperti duri sa’dan. Tahukah kalian, apakah duri sa’dan itu? Para sahabat menjawab, ya.

Beliau melanjutkan, “Ia bagaikan duri sa’dan, hanya saja tidak ada yang mengetahui besarnya kecuali Allah. Ia akan menarik manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka. ada yang selamat ada pula yang merangkak kemudian selamat.” (HR. Bukhari).

Jadi, satu hal yang mestinya menjadi perhatian setiap orang beriman adalah bagaimana kira-kira nasibnya di akhirat nanti, terutama ketika harus melewati shirath. Karena shirath ini adalah media penentu dari Allah seseorang masuk surga atau terjungkal ke dalam neraka.

Sungguh, kita tidak pernah bisa mengetahui, apalagi memastikan, apakah amal yang kita lakukan termasuk amal yang diterima, jiwa kita adalah jiwa yang takwa, atau justru masuk kelompok manusia yang celaka. Oleh karena itu, kita patut bertanya dalam diri, sebagaimana Hasan bin Ali radhiyallahu anhu berkata, “Aku takut ketika sebagian dosaku terlihat kemudian Allah berkata, ‘Dosamu tidak diampuni.”

Masa depan manusia yang harus menyeberangi shirath itulah yang kemudian mendorong Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam bersabda, “Seandainya kalian mengetahui apa yang kuketahui, tentu kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis,” (HR. Bukhari).

Artinya, kita harus benar-benar mengimani hari akhir, dengan bersegera melakukan segala amal sholeh dan menjauhi perbuatan yang merusak. Berlomba-lomba menyiapkan bekal takwa menuju Allah agar kelak mendapat rahmat dari-Nya dan bisa menyeberang di atas shirath dengan selamat hingga ke surga.

Firman-Nya tentang Hari Esok

لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hasyr [59]: 20).

Ibn Katsir dalam tafsir ayat tersebut menyebutkan riwayat yang disampaikan oleh Imam Ahmad dari Al-Mundzir bin Jabir, yang secara inti memaparkan pengalaman Rasulullah melihat suku Mudhar yang sangat miskin, hingga tak beralas kaki dan tidak berpakaian.

Melihat hal tersebut, kemudian Rasulullah berkhutbah, “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu (sampai akhir ayat). Llau beliau membaca ayat tersebut hingga tuntas, kemudian menambahkan, “…meskipun hanya dengan satu belah kurma”.

Mendengar khutbah itu, seorang sahabat Anshar datang membawa satu kantong, hampir saja telapak tangannya tidak mampu mengangkatnya, bahkan memang tidak mampu. Lalu orang-orang pun mengikuti sehingga aku melihat dua tumpukan dari makanan dan pakaian, sehingga aku melihat wajah Rasulullah berseri-seri bagaikan disepuh emas.

Maka, menurut Ibn Katsir hari esok itu atau masa depan itu hanya tepat jika kita persiapkan dengan banyak beramal sholeh, bersegera membantu saudara yang lain yang sangat berhajat terhadap kebutuhan hidup, walau hanya dengan separuh biji kurma. Kemudian menjauhi seluruh bentuk larangan-Nya.

Dengan demikian perbanyaklah intropeksi diri (muhasabah). Lihatlah apa yang telah kita tabung untuk akhirat kita sendiri utamanya ketika bertemu dengan Rabb kita semua. Jangan sampai kita lupakan hal yang sebenarnya tidak lama lagi akan kita jumpai dalam perjalanan panjang kehidupan akhirat.

Mulai sekarang, berhentilah bergantung pada harta, jabatan, dan kekuasaan. Semua itu tidak akan berarti apa-apa tanpa iman, takwa dan amal sholeh. Justru siapapun kita, pada dasarnya sangat berpotensi mendapatkan masa depan yang baik bahkan sangat-sangat baik, asalkan, senantiasa menjaga dan meningkatkan kualitas takwa kepada-Nya dan banyak melakukan amal sholeh untuk kemaslahatan bersama.*/Imam Nawawi

Dzikrullah, Obat Ampuh atasi Galau!


GALAU adalah istilah yang populer di kalangan anak muda sekarang. Bila disebut istilah ini, kebanyakan mereka tersenyum simpul dan segera mengerti apa maksudnya. Namun biasanya “galau” mengalami penyempitan makna sebatas keresahan akibat kacaunya hubungan asmara, atau kegelisahan pikiran akibat hal-hal yang berkaitan dengan cinta. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “galau” artinya sibuk beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak keruan (pikiran).

Sebenarnya, galau atau resah adalah kondisi pikiran yang bisa menimpa setiap orang, tidak pandang usia. Persoalan yang memicunya juga tidak terbatas pada urusan cinta, namun bisa mencakup segala hal seperti kesehatan, pekerjaan, keluarga, teman, harta, pendidikan, dsb. Perwujudannya pun bisa sangat beragam, seperti berwajah muram, tatapan mata yang sayu, badan kurus dan lemah, mengurung diri, eksplosif dan emosional, bahkan tertimpa penyakit-penyakit fisik dan psikis yang kronis.

Ketika sedang galau, yang menarik dicermati adalah apa tindakan seseorang untuk meredakannya? Sebagian orang ada yang memilih tidur seharian sehingga melalaikan banyak kewajiban dan tanggung jawab, baik terhadap Allah, diri sendiri, keluarga maupun masyarakat. Ada lagi yang bermain game selama berjam-jam, menonton beberapa film secara berantai, pergi ke gunung atau pantai, surfing di internet, menekuni hobbi, dsb. Di beberapa kota besar, berkembang pula metode terapi melalui Meditasi dan Yoga.

Sebagai Muslim, pertanyaannya adalah: apa yang diajarkan oleh Islam untuk mengurangi, meredakan, dan melenyapkan keresahan hati?

Hudzaifah bin al-Yaman, seorang Sahabat Nabi, menceritakan bahwa dulu bila Rasulullah dihadang oleh persoalan yang sangat berat atau dibuat sedih oleh sesuatu hal, beliau pasti mengerjakan shalat, yakni shalat sunnah. (Riwayat Abu Dawud. Hadits hasan).

Begitulah, sebab dengan doa dan kekhusyuan di dalamnya maka hati menjadi tenang dan lebih mudah menemukan jalan keluar.

Terkait riwayat diatas, Syaikh ‘Abdurrauf Al-Munawi berkata dalam Faidhul Qadir, “Sebab shalat adalah penolong untuk mengusir semua keresahan akibat datangnya musibah, berkat pertolongan Allah Sang Maha Pencipta. Dengan musibah itu sebenarnya Allah ingin mendorong seseorang agar menghadap dan mendekatkan diri kepada-Nya. Barangsiapa yang menghadap kepada Pelindungnya maka Dia akan membentenginya dan Dia sendiri yang akan turun menangani urusannya. Sebab, orang itu telah berpaling dari semua selain-Nya. Demikianlah tindakan setiap pembesar kepada siapa saja yang secara total menghadapkan diri kepadanya.”

Pernah dikisahkan pula bahwa ada seseorang dari suku Khuza’ah yang merasa sangat kelelahan, lalu berkata, “Aduh, andai saja aku bisa shalat, sehingga aku bisa beristirahat.” Ucapannya ini dikritik orang banyak, namun dia menjawabnya dengan berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda: ‘Hai Bilal, (serukan) iqamah untuk shalat! Istirahatkanlah kami dengannya!’” – yakni, dengan shalat. (Riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan al-Baihaqi dalam al-Kubra. Hadits shahih).

Jadi, inilah obat kegalauan hati yang dicontohkan oleh Nabi, yang juga selaras dengan firman Allah:

الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah, dengan mengingat Allah (dzikrullah) maka hati menjadi tenang.” (QS. ar-Ra’d: 28). Sebagaimana dimaklumi, shalat sendiri dipenuhi dengan dzikir dan doa, atau merupakan dzikir dan doa yang paling utama.

Tentu saja, contoh beliau jauh lebih baik. Shalat yang dilakukan dengan khusyu’ bukan hanya menenangkan hati, namun juga berpahala. Ada banyak sekali ganjaran dan keutamaan shalat yang sudah akrab kita dengar. Pilihan beliau juga memperlihatkan perbedaan mencolok dengan sebagian dari kita di zaman sekarang, dimana jika sedang menghadapi masalah pelik justru berharap agar “diistirahatkan dari shalat”, alias libur darinya! Astaghfirullah.

Sebagai Muslim, sangatlah tidak pantas – bahkan berbahaya – untuk meredakan kegelisahan hati dengan mempraktikkan metode-metode yang berasal dari sistem kepercayaan dan budaya di luar Islam, semisal Meditasi dan Yoga.

Menurut World Book Encyclopedia 2005 Deluxe Edition, Yoga bisa mengandung dua pengertian, yaitu aliran pemikiran dalam agama Hindu, atau sistem latihan mental dan fisik yang dikembangkan oleh aliran tersebut.

Aliran ini banyak merujuk kepada Upanishad, yaitu bagian terakhir dari rangkaian Weda. Para penganutnya (disebut Yogi atau Yogin) menggunakan Yoga untuk mencapai pembebasan jiwa dari penjara tubuh dan pikiran. Dalam latihannya, Yogi akan dibimbing melalui delapan tingkatan, dimana tingkat ketujuh adalah dhyana (meditasi) dan yang kedelapan adalah samadhi. Tingkat terakhir dan tertinggi ini dicapai ketika seseorang telah merasakan jiwa yang murni, bebas, dan kosong (realize that their soul is pure and free, and empty of all content).

Padahal, menurut Islam, semestinya hati manusia tidak boleh dibiarkan kosong, akan tetapi harus selalu diisi dengan kesadaran dan dzikir. Sebab, jika ia kosong, yang akan masuk adalah bisikan setan. Di saat bersamaan, meditasi dan semedi merupakan bagian dari Delapan Jalan Kebenaran atau Roda Dharma dalam Buddhisme. Alhasil, metode ini sangat rawan dan berbahaya (dari sisi akidah), karena penuh dengan syubhat dan ajaran dari sistem kepercayaan di luar Islam.

Jadi, jika kita merasa galau, kembalilah kepada cara dan metode Islam untuk meredakannya. Shalat hanya salah satunya. Masih ada banyak pilihan lainnya. Jangan mengekor budaya dan sistem kepercayaan lain. Bisa jadi, bukannya menjadi tenang, tetapi tanpa disadari justru tersesat ke dalam kegelapan tak bertepi. Na’udzu billah. Wallahu a’lam.

Friday, 14 June 2013

Air Mata Penghapus Dosa


"Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan kekhusyuan mereka bertambah". (QS. 17:109)

Ketika seseorang masih kecil mungkin hanya bisa menangis ketika menginginkan sesuatu. namun ketika mulut sudah bisa berkata-kata, maka tidak lagi menangis jika menginginkan apa-apa , walaupun kebiasaan menangis tetap saja masih ada.

Menginjak remaja seseorang masih sering menangis. ketika patah hati atau ditinggal kekasih, menjalani penderitaan hidup dan perjuaangan meraih masa depan, serta merasakan kegagalan demi kegagalan yang menghiasi hidup dan lain sebagainya. bahkan ketika dewasa dan tua sekalipun masih bisa menangis. disaat menemukan kekasih yang siap dengan segenap kesetiaan mendampingi hidup dan menerima kekurangan, ketika bermunajat kepada Allah mendoakan anak dan istri, sering kali tanpa disadari air mata meleleh membasahi pipi dengan harapan Allah mengabulkan harapanya . begitulah tangis yang merupakan bagian dari kehidupan setiap manusia yang mesti ada sepanjang masa.

Kebanyakan orang dewasa menangis jika terdapat hal-hal tragis. seperti orang tuanya meninggal dunia, kehilangan barang paling berharga, ditinggal anak atau saudara untuk selamanya. pendek kata menangis ibarat dengan peristiwa menyedihkan, tragis dan memilukan, sedangkan menangisi hal-hal yang bersifat sangat membahagiakan seperti berjumpa dengan orang yang dicinta , meraih penghargaan yang luar biasa , atau menang undian dan lain sebagainya lebih sedikit kita jumpai . dengan demikian menangis dikalangan orang dewasa identik dengan peristiwa yang luar biasa yang menimpanya baik tragis ,menyedihkan atau membahagiakan . jika tidak menjumpai hal-hal semacam itu hampir mustahil bagi mereka untuk mengis.

Sedangkan orang yang menangisi perbuatan dosa hingga sampai pada gerbang pertaubatan justru semakin sedikit kita jumpai. padahal sesungguhnya melakukan dosapun merupakan perbuatan yang menimbulkan peristiwa tragis luar biasa . jika ketiga tangis tersebut (menangis karena sedih, bahagia dan taubat) dilukiskan dalam diagaram kualitas tangis seseorang, maka menangis karena sedih oleh peristiwa yang tragis dan memilukan yang paling banyak terjadi pada diri seseorang, sedangkan menangis karena bahagia menempati urutan yang kedua . tangis ini mempunyai arti lebih tinggi dari tangis kesedihan sebab orang yang menangis pada wilayah ini tidak melupakan Allah ketika gembira. ada kecenderungan bahwa orang yang menangis karena bahagia senantiasa ingat kepada yang memberi kebahagiaan tersebut yakni Allah. Lain halnya dengan orang yang tertawa karena bahagia biasanaya ketika tertawa orang tersebut sedang lupa sesaat terhadap yang memberikan kebahagiaan tersebut. sebaliknya orang ini biasanya akan menangis ketika tertimpa kesediahan. orang yang menangis dikala sedih belum tentu bisa menangis ketika bahagia dengan kata lain ia ingat Allah ketika sedih dan melupakan Nya disaat bahagia. hal ini persis sebagaimana telah difirmankan Allah dalam Al-Qur’an,

“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia. dan membelakang dengan sikap yang sombong. dan apabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa”. al-isra’ ayat 83

Tangis cinta, rindu, takut dan taubat adalah tangis yang paling sulit dilakukan seseorang. serta jumlahnya sangat sedikit. tangis model ini hanya bisa dilakukan atas dasar dorongan spiritual yang tinggi, dan diimbangi kesadaran atas perbuatan dosa dan kemaksiatan kepada Allah. oleh karena itu tangis ini memiliki derajat yang paling tinggi diantara tangis yang lain. dengan tangis Pertaubatan ini seseorang dapat membersihkan dosa dosanya, juga mampu mengubah segala perbuatan jahat menjadi bermartabat, buruk menjadi baik dan yang kotor menjadi bersih sehingga hidup dalam ridha Allah swt secara total. sebagaimana Rasulullah bersabda, ada dua mata yang tidak akan tersentuh api neraka , mata yang menangis karena takut kepada Allah swt dan mata-mata yang berjaga-jaga dimalam hari karena menjaga pertahanan kaum muslumin (dalam jihad di jalan Allah swt) Hr. Tirmidzi

Dosa kita diibaratkan sebagai kotoran, tidak semua airmata mampu menghapusnya, hanya airmata yang mengucur dari tangis ketakutan atas adzabnya dan bertaubatan kepadanya. Karena Air mata itu merupakan air mata dari orang-orang yang sedang melakukan pendakian tangga demi tangga menuju Allah swt. sementara tangis diluar hal tersebut hanyalah tangis naluriah atau alamiah yang tidak memiliki banyak makna.

Menangis jenis ini merupakan sebuah jeritan hati yang suci, bukan sebuah kecengengan, sungguh cengeng bukanlah mudah menangis. akan tetapi sikap cengeng lebih mendekati pada mudah tersinggung dan lemahnya semangat ketika menghadapi cobaan, dengan demikian tidak semua tangisan adalah kecengengan. tetapi juga bukan setiap kecengengan adalah tangisan. namun yang bisa dijadikan skat antara keduanya adalah tangisan orang yang cengeng disebabkan oleh hal-hal material yang bersifat duniawi. hal ini berbeda degan tangisan orang yang bertaubat disebabkan oleh perbuatan maksiat dan bersifat ruhani.

Umar bin khatab yang gagah berani disiang hari seolah-olah menjadi cengeng dimalam harinya. Ternyata sahabat nabi ini selalu beristighfar dikeheningan nan pekat seraya meneteskan air sebening embun pembersih dosa yang menggetarkan dan menenangkan jiwanya. Jika kepahlawanan yang diajarkan hanya untuk tidak menangis, sesungguhnya telah membuat mereka menderita oleh pertarungan hebat antara akal dan perasaan mereka sendiri. Akalnya mengajak tegapnya kepala dan busungkan dada sementara perasaan menjerit-jerit karena tidak diberikan haknya. Tangis merupakan perasaan paling sensitive sehingga untuk memahaminya hanya dengan perasaan bukan memberitahukan atau menjelaskan secara rasional.

Wahai yang berlinangan airmata….,berapa banyak airmata yang engkau tumpahkan oleh karena kesedihan dan kesulitan. dan berapa banyak airmata yang tercucur atas penyesalan dosa-dosamu dan karena takut akan siksa Allah. Engkau begitu mudah untuk meneteskan air mata karena terhimpit oleh kesempitan duniawi tetapi begitu sulit untuk meneteskan atas perbuatan dosa-dosamu engkau begitu mudah menangis ketika dianiaya tetapi begitu sulit ketika berdosa.

Wahai yang berlinangan airmata……,sampai kapankah engkau akan menguraikan airmata yang mubadzir ini. Biarlah airmata kita hanya untuk membersihkan dosa karena cinta, yang sekaligus takut pada adzab dan siksanya.

Betapa rindunya jika setiap hari tetes airmata akan menghiasi malam-malam yang hening dan hanya isak tangis pertaubatan yang mengusik keheningan malam. di saat itu pastilah para malaikat berkerumun mengamini do’a-do’a. ikut bermunajat bersama. dan Allahpun akan sangat gembira melihat hambanya yang demikian itu.

Kapan hati ini bisa bersih. sehingga mampu menangkap gelombang getaran isi kitab suci Ilahi. kapankah mata ini akan berkaca-kaca karenaNya. Disinilah puncak airmata cinta pembersih dosa seorang hamba dihadapan Tuhanya .

Betapa meruginya orang-orang jahat yang keras kepala dan keras hatinya, ia nyaris tidak menangis oleh sebab apapun. karena dalam hatinya telah menolak untuk menangis dan akalnya merasa malu dengan tangisanya sendiri, walaupun demikian jangan dikira orang orang tersebut tidak akan menangis untuk selamanya. suatu saat sebagian mereka akan mengucurkan air matanya yakni ketika ajal menjemput, sementara pintu Taubat telah tertutup. Tangisanya tidak mengeluakan suara tetapi mulutnya menguak-uak seakan mereka berteriak minta tolong sementara itu tanpa ia sadari airmatnya mengalir membasahi pipinya. Demikian orang yang mengeras hatinya sehingga Allah mengunci mati hati mereka kemudian ia akan mengalami kegersangan spiritual yang yang sangat hebat . kegersangan tersebut bagaikan gurun sahara yang sesekali terkena hujan lebat namun sayang selebat apapun hujan, tak akan membuat gurun sahara lepas dari dahaga kegersangan begitu juga dengan orang orang yang keras hatinya walaupun berbagai musibah dan bencana sebagai peringatan dan pelajaran tetapi hatinya tidak tersentuh sedikitpun apalagi hingga menitikkan airmata.

Oleh karena itu menangislah. Belajar menangisi kesalahan dan dosa, belajar menangisi kekurangan-kekurangan dalam mengabdikan diri kepada sang pencipta. Kalau engkau tidak sanggup maka tetaplah menangis dikarenakan ketidak sanggupanmu melakukanya.
 

like this

Abubakar r.a. berkata, "iman itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik , orang yang beriman itu lebih manis dari madu, dan mempertahankan iman itu lebih susah dari meniti sehelai rambut". Umar r.a. berkata, "kerajaan itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik , seorang raja itu lebih manis dari madu, dan memerintah dengan adil itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut". Utsman r.a. berkata, "ilmu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik , orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu, dan ber'amal dengan ilmu yang dimiliki itu lebih sulit dari meniti sehelai rambut". 'Ali r.a. berkata, "tamu itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik , menjamu tamu itu lebih manis dari madu, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumanya adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut". Fatimah r.ha.berkata, "seorang wanita itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, wanita yang ber-purdah itu lebih manis dari madu, dan mendapatkan seorang wanita yangtak pernah dilihat orang lain kecuali mahramnya lebih sulit dari meniti sehelai rambut". Rasulullah SAW berkata, "seorang yang mendapat taufiq untuk ber'amal adalah lebih cantik dari mangkuk yang cantik ini, ber'amal dengan 'amal yang baik itu lebih manis dari madu, dan berbuat 'amal dengan ikhlas adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut". Malaikat Jibril AS berkata, "menegakkan pilar-pilar agama itu lebih cantik dari sebuah mangkuk yang cantik, menyerahkan diri; harta; dan waktu untuk usaha agama lebih manis dari madu, dan mempertahankan usaha agama sampai akhir hayat lebih sulit dari meniti sehelai rambut". Allah SWT berfirman, " Sorga-Ku itu lebih cantik dari mangkuk yang cantik itu, nikmat sorga-Ku itu lebih manis dari madu, dan jalan menuju sorga-Ku adalah lebih sulit dari meniti sehelai rambut"

sharing ilmu islam Copyright © 2013 Template modification by Ikhwanul fikri